Kamis, 11 Juni 2015

BIMBINGAN KONSELING

2.1 Pengertian Prinsip-prinsip Bimbingan dan Konseling 
Prinsip-prinsip bimbingan dan konseling adalah pemaduan hasil-hasil kajian teori dan praktek yang dirumuskan dan digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan suatu pelayanan. Dalam pelayanan bimbingan dan konseling prinsip-prinsip yang digunakannya bersumber dari kajian filosofis, hasil-hasil penelitian dan pengalaman praktis tentang hakikat manusia, perkembangan dan kehidupan manusia dalam konteks sosial budayanya, pengertian, tujuan, fungsi, dan proses penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Misalnya Van Hoose mengemukakan bahwa: 
1. Bimbingan didasarkan pada keyakinan bahwa dalam diri tiap anak terkandung kebaikan-kebaikan, setiap anak mempunyai potensi dan pendidikan yang mampu membantu anak memanfaatkan potensinya itu. 
2. Bimbingan didasarkan pada ide bahwa setiap anak adalah unik, seseoarang anak berbeda dari yang lain. 
3. Bimbingan merupakan bantuan kepada anak-anak dan pemuda dalam peertumbuhan dan perkembangan mereka menjadi pribadi-pribadi yang sehat. 
4. Bimbingan merupakan usaha membantu mereka yang memerlukannya untuk mencapai apa yang menjadi idaman masyarakat dan kehidupan umumnya. 
5. Bimbingan adalah pelayanan unik yang dilaksanakan oleh tenaga ahli dengan latihan-latihan khusus dan untuk melaksanakan pelayanan bimbingan diperlukan minat pribadi yang khusus pula. 

2.2 Prinsip-prinsip dalam Bimbingan dan Konseling 
1. Prinsip-prinsip Berkenaan dengan Sasaran Pelayanan 
Sasaran pelayanan bimbingan dan konseling adalah individu-individu, baik secara perorangan maupun kelompok. Individu-individu itu bervariasi dan berbeda satu dengan yang lainnya, misalnya dalam hal umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi keluarga, dan jabatan, keterkaitannya terhadap suatu lembaga tertentu, dan variasi lainnya. 
 Di samping itu, yang menjadi sasaran pelayanan bimbingan dan konseling adalah sikap dan tingkah laku individu. Sikap dan tingkah lakunya ini amat dipengaruhi oleh aspek-aspek kepribadian, kondisi diri sendiri, serta kondisi lingkungannya. Adapun prinsip-prinsip yang berkenaan dengan sasaran pelayanan itu, antara lain: 
a. Bimbingan dan konseling melayani semua individu, tanpa memandang umur, jenis kelamin, suku, bangsa, agama, dan status sosial ekonomi. 
b. Bimbingan dan konseling berurusan dengan sikap dan tingkah laku individu yang terbentuk dari berbagai aspek kepribadian yang unik dan dinamis. 
c. Untuk mengoptimalkan pelayanan bimbingan dan konseling sesuai dengan kebutuhan individu itu sendiri, perlu dikenali dan dipahami keunikan setiap individu dengan berbagai kekuatan, kelemahan, dan permasalahannya. 
d. Meskipun individu yang satu dan lainnya serupa dalam berbagai hal, tetapi perbedaan individu harus dipahami dan dipertimbangkan dalam upaya yang bertujuan memberikan bantuan atau bimbingan kepada individu-individu tertentu, baik anak-anak, remaja, ataupun orang dewasa. 

2. Prinsip-prinsip Berkenaan dengan Masalah Individu 
Perkembangan dan kehidupan individu tidak selalu dipengaruhi faktor positif. Faktor yang berpengaruh negatif akan menimbulkan hambatan-hambatan terhadap perkembangan dan kehidupan individu serta akan menimbulkan masalah tertentu pada individu. Secara ideal pelayanan bimbingan dan konseling ingin membantu berbagai masalah individu, tetapi pelayanan dan bimbingan konseling hanya mamapu menangani masalah secara terbatas karena keterbatasan yang ada pada dirinya sendiri. Prinsip-prinsip yang berkenaan adalah: 
a. Bidang bimbingan pada umumnya dibatasi hanya pada hal-hal yang menyangkut pengaruh kondisi mental dan fisik terhadap penyesuaian diri individu dengan lingkungan serta kontak sosial dan pekerjaan, dan sebaliknya. 
b. Keadaan sosial, ekonomi dan politik yang kurang menguntungkan merupakan faktor timbulnya masalah pada individu yang menjadi perhatian utama pelayanan bimbingan dan konseling. 

3. Prinsip-prinsip Berkenaan dengan Program Pelayanan
Kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling diselenggarakan dengan 2 cara yaitu insidental dan terprogram. Pelayanan insidental merupakan pelayanan dari konselor yang sedang menjalankan praktik pribadi. Pelayanan ini diberikan kepada klien-klien yang secara langsung (tidak terprogram atau terjadwal) meminta bantuan kepada konselor dan pelaksanaan pelayanannya secara langsung pula pada waktu mereka datang berkonsultasi, sehingga konselor tidak menyediakan program khusus. 
Berbeda dengan pelayanan terprogram. Pelayanan ini ditujukan kepada warga lembaga tempat konselor bertugas. Disini konselor dituntut untuk menyusun program pelayanan yang berorientasi kepada seluruh warga lembaga tersebut dengan memperhatikan variasi masalah dan jenis layanan yang dapat diselenggarakan, rentan dan unit-unit waktu yang tersedia, ketersediaan staf, kemungkinan hubungan antar personal dan lembaga, dan faktor lainnya yang dapat dimanfaatkan di lembaga tersebut. 
Adapun prinsip-prinsip tentang program layanan bimbingan dan konseling sebagai berikut: 
a. Sebagai bagian integrasi dari proses pendidikan dan pengembangan individu, program bimbingan dan konseling harus disusun dan dipadukan sejalan dengan program pendidikan dan pengembangan secara menyeluruh. 
b. Program bimbingan dan konseling harus fleksibel, disesuaikan dengan kondisi lembaga, kebutuhan individu, dan masyarakat. 
c. Program pelayanan bimbingan dan konseling harus disusun dan diselenggarakan secara berkesinambungan kepada anak-anak sampai dengan orang dewasa. 
d. Diadakan penilaian yang teratur dan terarah terhadap isi dan pelaksanaan program bimbingan dan konseling untuk mengetahui hasil dan manfaat yang diperoleh, serta mengetahui kesesuaian antara program yang direncanakan dengan pelaksanaannya. 

4. Prinsip-prinsip Berkenaan dengan Pelaksanaan Pelayanan 
Pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling dimulai dengan pemahaman tentang tujuan layanan. Tujuan ini selanjutnya akan diwujudkan melalui proses tertentu yang dilaksanakan oleh tenaga ahli dalam bidangnya. Adapun prinsip-prinsip yang berkenaan adalah: 
a. Tujuan akhir bimbingan dan konseling adalah kemandirian setiap individu, oleh karena itu pelayanan bimbingan dan konseling harus diarahkan untuk mengembangkan individu agar mampu membimbing dirinya sendiri dalam menghadapi setiap kesulitan atau permasalahan yang dihadapinya. 
b. Dalam proses konseling keputusan yang diambil dan akan dilakukan oleh individu hendaklah atas kemauan individu sendiri, bukan karena kemauan atau desakan dari konselor. 
c. Permasalahan khusus yang dialami oleh individu (untuk semua usia) harus ditangani oleh (dan kalau perlu dialihtangankan kepada) tenaga ahli dalam bidang yang relevan dengan permasalahan khusus tersebut. 
d. Bimbingan dan konseling adalah pekerjaan professional, oleh karena itu dilaksanakan oleh tenaga ahli yang telah memperoleh pendidikan dan latihan khusus dalam bimbingan dan konseling. 
e. Guru dan orang tua memiliki tanggung jawab yang berkaitan dengan pelayanan bimbingan dan konseling. Oleh karena itu bekerja sama antar konselor dengan guru dan orang tua amat diperlukan. 
f. Guru dan konselor berada dalam satu kerangka upaya pelayanan. Oleh kerena itu keduanya harus mengembangkan peranan yang saling melengkapi untuk mengurangi hambatan-hambatan yang ada pada lingkungan peserta didik. 
g. Penilaian periodik perlu dilakukan terhadaap program yang sedang berjalan. 

5. Prinsip-prinsip Bimbingan dan Konseling di Sekolah 
Pelayanan bimbingan dan konseling secara resmi memang ada di sekolah akan tetapi pelaksanaannya belum sesuai dengan yang diharapkan. Dalam kaitan ini Belkin menegaskan enam prinsip untuk menegakkan dan menumbuhkan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah, antara lain: 
1. Konselor harus memulai kariernya sejak awal dengan program kerja yang jelas, dan memiliki kesiapan yang tinggi untuk melaksanakan program tersebut. Konselor juga memberikan kesempatan kepada seluruh personal sekolah dan siswa untuk mengetahui program-program yang hendak di jalankan itu. 
2. Konselor harus selalu mempertahankan sikap profesional tanpa mengganggu keharmonisan hubungan antara konselor dengan personal sekolah lainnya dan siswa. Dalam hal ini, konselor harus menonjolkan keprofesionalannya, tetapi menghindari sikap kesombongan personal. 
3. Konselor bertanggung jawab untuk memahami peranannya sebagai konselor profesional dan menerjemahkan perananya itu kedalam kegiatan nyata. Konselor harus pula mampu dengan sebaik-baiknya menjelaskan kepada orang-orang dengan siapa ia akan bekerja sama tentang tujuan yang hendak dicapai oleh konselor serta tanggung jawab yang terpikul di pundak konselor. 
4. Konselor bertanggung jawab kepada semua siswa, baik siswa-siswi yang gagal, yang menimbulkan gangguan, yang berkemungkinanan putus sekolah, yang mengalami permasalahan emosional, yang mengalami kesulitan belajar, maupun siswa-siswi yang memiliki bakat istimewa, yang berpotensi rata-rata, yang pemalu, dan menarik diri dari khalayak ramai, serta yang bersikap menearik perhatian atau mengambil muka guru, konselor, dan profesional sekolah lainnya. 
5. Konselor harus memahami dan mengembangkan kompetensi untuk membantu siswa-siswi yang mengalami masalah dengan kadar yang cukup parah dan siswa-siswi yang menderita gangguan emiosional, khusussnya melalui penerapan program-program kelompok, kegiatan pengajaran di sekoloh dan kegiatan di luar ssekolah, serta bentuk-bentuk kegiatan lainnya. 
6. konselor harus mampu bekerjasama secara efektif dengan kepala sekolah, memberikan perhatian dan peka terhadap kebutuhan, harapan, dan kecemasan-kecemasaanya. Konselor memiliki kesempatan yang baik untuk menegakkan citra bimbingan dan konseling profesional apabila ia memiliki hubungan yang saling menghargai dan saling memperhatikan dengan kepala sekolah. 

Prinsip-prinsip tersebut menegaskan bahwa penegakkan dan penumbuh kembangan pelayan bimbingan dan konseling di sekolah hanya mungkin dilakukan oleh konselor profesional yang tahu dan mau bekerja, memiliki program nyata dan dapat dilaksanakan, memiliki komitmen dan keterampilan untuk membantu siswa dengan segenap variasinya di sekolah, dan mampu bekerjasama serta membina hubungan yang harmonis dengan kepala sekolah. Konselor yang demikian itu tidak akan muncul dengan sendiri, melainkan melalui perkembangan, peneguhan, keterampilan, wawasan dan pemahaman profesional yang mantap.


By: Isna Chaerany

Pentingnya Agama

Mengapa agama diperlukan? 
Yang pertama kali harus dilakukan oleh seseorang yang meyakini keberadaan Allah adalah mempelajari apa-apa yang diperintahkan dan hal-hal yang disukai Penciptanya. Dia lah yang memberinya ruh dan kehidupan, makanan, minuman dan kesehatan. Selanjutnya dia harus mengabdikan seluruh hidupnya untuk patuh kepada perintah-perintah Allah dan mencari ridhaNya. Agama lah yang membimbing kita kepada moral, perilaku dan cara hidup yang diridhai Allah. Allah telah menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwa orang yang patuh kepada agama berada di jalan yang benar, sedangkan yang lainnya akan tersesat. Dia yang dadanya terbuka untuk Islam mendapat cahaya dari Tuhannya. Sungguh celaka orang-orang yang berkeras untuk tidak mengingat Allah! Mereka dalam kesesatan yang nyata. (Surat az-Zumar: 22) 

Bagaimana cara menjalankan agama (dien)? 
Orang yang beriman kepada Allah dan menghambakan diri kepadaNya, mengatur hidupnya agar sesuai dengan seruan Allah dalam Al-Qur’an. Dia menjadikan agama sebagai petunjuk hidupnya. Patuh kepada hal-hal yang baik menurut hati nuraninya, dan meninggalkan segala yang buruk yang ditolak hati nuraninya. Allah menyatakan dalam Al-Qur’an bahwa Dia menciptakan manusia agar siap untuk menghidupkan agamaNya: Maka, teguhkanlah pengabdianmu kepada Agama yang benar yang Allah ciptakan untuk manusia. Tiada yang mampu merubah ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (Surat Ar-Rum: 30) 

Dapatkah moral tegak tanpa agama? 
Pada lingkungan masyarakat yang tak beragama, orang cenderung melakukan beragam tindakan yang tak bermoral. Perbuatan buruk seperti penyogokkan, perjudian, iri hati atau berbohong merupakan hal yang biasa. Hal demikian tidak terjadi pada orang yang ta’at kepada agama. Mereka tidak akan melakukan semua perbuatan buruk tadi karena mengetahui bahwa ia harus mempertanggungjawabkan semua tindakannya di akhirat kelak. 
Sukar dipercaya jika ada orang mengatakan, Saya ateis namun tidak menerima sogokan”, atau Saya ateis namun tidak berjudi. Mengapa? Karena orang yang tidak takut kepada Allah dan tidak mempercayai adanya pertanggungjawaban di akhirat, akan melakukan salah satu hal di atas jika situasi yang dihadapinya berubah. Seseorang yang mengatakan, Saya ateis namun tidak berjinah cenderung melakukannya jika perjinahan di lingkungan tertentu dianggap normal. Atau seseorang yang menerima sogokan bisa saja beralasan, Anak saya sakit berat dan sekarat, karenanya saya harus menerimanya, jika ia tidak takut kepada Allah. Di negara yang tak beragama, pada kondisi tertentu maling pun bisa dianggap sah-sah saja. Contohnya, masyarakat tak beragama bisa beranggapan bahwa mengambil handuk atau perhiasan dekorasi dari hotel atau pusat rekreasi bukanlah perbuatan pencurian. 
Seorang yang beragama tak akan berperilaku demikian, karena ia takut kepada Allah dan tak akan pernah lupa bahwa Allah selalu mengetahui niat dan pikirannya. Dia beramal setulus hati dan selalu menghindari perbuatan dosa. Seorang yang jauh dari bimbingan agama bisa saja berkata Saya seorang ateis namun pemaaf. Saya tak memiliki rasa dendam ataupun rasa benci. Namun sesuatu hal dapat terjadi padanya yang menyebabkannya tak mampu mengendalikan diri, lalu mempertontonkan perilaku yang tak diinginkan. Dia bisa saja melakukan pembunuhan atau mencelakai orang lain, karena moralnya berubah sesuai dengan lingkungan dan kondisi tempat tinggalnya. 
Sebaliknya, orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak kan pernah menyimpang dari moral yang baik, seburuk apapun kondisi lingkungannya. Moralnya tidak berubah-ubah melainkan tetap kokoh. Orang-orang beriman memiliki moral yang tinggi. Sifat-sifat mereka disebut Allah dalam ayatNya: Mereka yang teguh dengan keyakinannya kepada Allah dan tidak mengingkari janji; yang menghubungkan apa yang diperintahkan Allah untuk menghubungkannya dan takut kepada Tuhan mereka dan takut pada hisab yang buruk; mereka yang sabar untuk mencari perjumpaan dengan Tuhan mereka, dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian harta yang kami berikan kepadanya secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, menolak kejahatan dengan kebaikan. Merekalah yang mendapat kedudukan yang tinggi. (Surat Ar-Rad: 20-22) 

Apa yang terjadi dengan sistem sosial jika tidak ada agama? 
Konsep pertama yang akan hilang pada sebuah lingkungan tak beragama adalah konsep keluarga. Nilai-nilai yang menjaga keutuhan keluarga seperti kesetiaan, kepatuhan, kasih-sayang dan rasa hormat akan ditinggalkan sama sekali. Harus diingat bahwa keluarga merupakan pondasi dari sistem kemasyarakatan. Jika tata nilai keluarga runtuh, maka masyarakat pun akan runtuh. Bahkan bangsa dan negara pun tidak akan ada lagi, karena seluruh nilai moral yang menyokongnya telah musnah. 
Lebih jauh lagi, tak akan ada lagi rasa hormat dan kasih-sayang terhadap orang lain. Ini mengakibatkan anarki sosial. Yang kaya membenci yang miskin, yang miskin membenci yang kaya. Angkara murka tumbuh pada mereka yang merasa dirintangi, hidup susah atau miskin. Atau menimbulkan agresi terhadap bangsa lain. Karyawan bersikap agresif kepada atasannya. Demikian pula atasan kepada bawahannya. Para bapak berpaling dari anaknya, dan anak berpaling dari bapaknya. 
Sebab dari pertumpahanan darah yang terus-menerus dan berita-berita kriminalitas di surat kabar adalah ketiadaan agama. Setiap hari dapat kita baca tentang orang-orang yang saling bunuh karena alasan yang sangat sepele. 
Orang yang mengetahui bahwa ia akan diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak, tidak akan melakukan pembunuhan. Dia tahu bahwa Allah melarang manusia melakukan kejahatan. Ia selalu menghindari murka Allah karena rasa takutnya kepadaNya. Janganlah berbuat kerusakan di muka bumi, setelah (Allah) memperbaikinya. Dan berdo’alah kepadaNya dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (Surat al-Araf: 56) 
Tindakan bunuh diri pun disebabkan oleh ketiadaan agama. Orang yang melakukan bunuh diri sama saja dengan melakukan pembunuhan. Orang yang hendak bunuh diri karena ditinggal pacar, misalnya, harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut sebelum melakukannya: Apakah ia akan melakukan bunuh diri jika pacarnya menjadi cacat? atau menjadi tua? atau jika wajah pacarnya terbakar? Tentunya tidak. Dia terlalu berlebihan menilai pacarnya seolah sebanding dengan Allah. Bahkan menganggap pacarnya lebih penting dari Allah, lebih penting dari hari akhirat dan dari agama. Ia lebih mempertaruhkan jiwanya bagi pacarnya tersebut dibanding bagi Allah. 
Orang yang dibimbing Al-Qur’an tidak akan melakukan hal semacam itu, bahkan tidak akan terlintas sedikitpun dalam benaknya. Seorang yang beriman menyerahkan hidupnya hanya untuk keridhaan Allah, dan menjalani dengan sabar segala kesusahan dan masalah yang Allah ujikan padanya di dunia ini. Ia pun tidak lupa bahwa kesabarannya itu akan mendapatkan balasan berlipat ganda baik di dunia maupun di akhirat. 
Pencurian pun merupakan hal yang sangat biasa pada masyarakat yang tak beragama. Seorang pencuri tak pernah berpikir seberapa besar kesusahan yang ditimbulkannya terhadap orang yang dicurinya. Harta yang dikumpulkan korbannya puluhan tahun diambilnya dalam semalam saja. Ia tak peduli seberapa besar kesusahan yang akan diderita korbannya. Mungkin saja ia pernah sadar dan menyesali perbuatannya yang telah menimbulkan kesusahan pada orang lain. Jika tidak, keadaannya menjadi lebih buruk. Itu berarti bahwa hatinya telah membatu dan selalu cenderung untuk melakukan segala tindakan yang tak bermoral. 
Dalam masyarakat yang tak beragama, nilai-nilai moral seperti keramahan, mau berkorban untuk orang lain, solidaritas dan sikap murah hati telah lenyap sama sekali. Orang-orangnya tidak menghargai orang lain sebagaimana layaknya manusia. Bahkan ada yang memandang orang lain sebagai mahluk yang berevolusi dari kera. Tak satu pun dari mereka mau menerima, melayani, menghargai atau memberikan sesuatu yang baik kepada orang lain. Apalagi terhadap mereka yang dianggapnya sebagai berasal dari kera. Orang-orang yang berpikiran seperti ini tidak menghargai orang lain. Tak satu pun memikirkan kesehatan, kesejahteraan atau kenyamanan orang lain. Mereka tak peduli jika orang lain terluka, atau pernah berusaha agar orang lain terhindar dari kecelakaan semacam itu. 
Di rumah sakit, misalnya, orang yang hampir meninggal dibiarkan begitu saja terlentang di ranjang-gotong dalam jangka waktu yang tak tentu; tak seorangpun pun peduli kepadanya. Contoh lain misalnya, pemilik restoran yang menjalankan restorannya tanpa peduli dengan kebersihan. Tempatnya yang kotor dan tidak sehat tak digubrisnya, tidak peduli dengan bahaya yang mungkin ditimbulkan terhadap kesehatan orang lain yang makan di sana. Ia hanya peduli kepada uang yang dihasilkannya. Ini hanya sebagian kecil contoh yang kita temui sehari-hari. 
Logikanya, orang hanya baik terhadap orang lain jika bisa mendapat imbalan yang menguntungkan. Namun bagi mereka yang menjalankan standar moral Al-Qur’an, menghargai orang lain merupakan pengabdian kepada Allah. Mereka tak mengharapkan imbalan apa pun. Semuanya merupakan usaha untuk mencari ridha Allah dengan terus-menerus melakukan amal baik, dan berlomba-lomba dalam kebaikan. 

Apa manfaat material dan spiritual bagi masyarakat jika mereka taat pada Al-Quran? 
Perlu kami ingatkan bahwa pengertian agama di sini adalah cara hidup yang bermoral. Cara hidup yang disukai Allah. Cara yang dipilihNya dan yang paling tepat bagi semua jenis manusia. Cara hidup yang terbebas dari takhyul-takhyul dan mitos-mitos, dan sepenuhnya di bawah bimbingan Al-Qur’an. 
Agama menciptakan lingkungan moral yang sangat aman dan nyaman. Sikap anarkis yang menyebabkan kerusakan pada bangsa negara terhenti sama sekali karena rasa takut kepada Allah. Orang tidak lagi melakukan tindakan yang merugikan ataupun berbuat kerusuhan. Orang-orang yang memegang nilai-nilai moral siap bangkit bagi bangsa dan negaranya serta tidak hendak berhenti untuk berkorban. Orang-orang semacam ini selalu berusaha untuk kesejahteraan dan keamanan negaranya. 
Di dalam masyarakat yang mengamalkan moral Al-Qur’an, orang-orangnya sangat menghargai satu sama lain. Setiap orang selalu berusaha agar orang lain merasa nyaman dan aman, karena menurut ajaran islam, solidaritas, persatuan dan kerjasama merupakan hal yang sangat penting. Setiap orang merasa berkewajiban untuk mendahulukan kenyamanan dan kepentingan orang lain. Ayat berikut merupakan contoh moralitas dari orang-orang yang beriman: 
Mereka yang lebih dulu tinggal di Madinah, dan telah beriman sebelum mereka datang, mencintai mereka yang datang kepada mereka untuk berhijrah, dan tak terbetik keinginan di hati mereka akan barang-barang yang diberikan kepada mereka, melainkan mendahulukan mereka dibanding dirinya sendiri meskipun mereka sendiri sangat membutuhkannya. Siapa yang terpelihara dari ketamakan, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Surat Al-Hashr: 9) 
Dalam lingkungan yang orang-orangnya takut kepada Allah, setiap orang berusaha untuk kesejahteraan masyarakat. Tak seorang pun bersikap boros. Setiap orang bekerja sama dan bersatu padu sambil memperhatikan kepentingan orang lain. Hasilnya berupa masyarakat yang kaya dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi. 
Masyarakat demikian kaya akan moral dan material. Kekacauan yang mengandung sikap memberontak sama sekali sirna. Setiap orang dapat mengekang hawa nafsunya dan setiap masalah diselesaikan dengan cara yang logis. Segala persoalan dipecahkan dengan kepala dingin. Dan kehidupan, karenanya, selalu aman tentram. 


Sumber : 
http://id.harunyahya.com/id/works/574/CARA_CEPAT_MERAIH_KEIMANAN

Perkembangan Pendidikan Agama Islam di Indonesia

Perkembangan adalah suatu tahap peristiwa dari awal sampai akhir yang mengalami perubahan menuju kearah lebih baik. Sebuah perkembangan sudah dipastikan mengalami suatu kemajuan yang lebih baik dari semula, jika mengalami kemunduran namanya bukan perkembangan namun penurunan. Pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia juga mengalami perkembangan tersebut, yang dulunya hanya dibawa oleh para pedagang dan sekarang sudah sebagian besar masyarakat memeluk dan mempelajari agama Islam. 
Pendidikan merupakan suatu proses untuk memberi suatu pelajaran yang dapat diterapkan dalam kehidupan untuk merubah dan mencerdaskan bangsa menjadi manusia yang baik. Pendidikan agama Islam merupakan suatu pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi dan potensi muslim yang sebenarnya yang sesuai dengan sumber dasar hukum islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa betapa pentingnya pendidikan agama Islam itu bagi kehidupan dan moral bangsa ini. 
Di Indonesia, agama Islam masuk dibawa oleh para pedagang muslim. Pendidikan diajarkan secara informal lewat orang – orang yang membeli barang dagangan mereka, dengan cara memberikan contoh perilaku teladan seperti berlaku sopan, ramah tamah, jujur, adil, dan tingkah laku lainnya. Hal itu membuat penduduk negeri tertarik dan hendak memeluk agama Islam. Begitulah para pengajar pendidikan agama Islam pada waktu itu melaksanakan penyiaran. Penyiaran tersebut dilaksanakan setiap menemui kesempatan, kapan saja, dimana saja dan kepada siapa saja. Agama Islam diajarkan dengan cara yang mudah sehingga orang akan mudah menerima dan melaksanakannya. Pengajaran secara informal berlangsung terus sampai mencapai hubungan erat sehingga terbentuklah ukhuwah dengan jalan perkawinan yang dapat menurunkan generasi Islam. Pengajaran tersebut membawa hasil yang mentakjubkan, karena agama Islam dapat tersiar sampai seluruh kepulauan Indonesia. 
Dengan adanya perkembangan zaman, pendidikan agama Islam dilingkup masyarakat mulai muncul cara yang baru yaitu pendidikan non-formal, ternyata mampu menunjang keberhasilan dan memberikan motivasi yang kuat. Pendidikan tersebut masih sangat sederhana, dilaksanakan di masjid, langgar atau surau. Pendidikan agama Islam diberikan dalam bentuk ceramah, mereka juga di latih membaca Al-Qur’an dan di bimbing dalam melaksanakan ibadah. 
Semakin lama peserta didik semakin bertambah, sehingga masjid tidak mampu lagi untuk menampung mereka serta tidak bisa sepenuhnya untuk mengajarkan pendidikan maka berkembang ke lembaga pendidikan di luar masjid. Selanjutnya mulailah muncul lembaga pendidikan yang khusus dipersiapkan untuk proses pengajaran agama islam yang diberi nama pondok pesantren dan terbentuk pula sekolah yang berdasar keagamaan atau sering disebut madrasah. Disinilah pendidikan agama Islam dilaksanakan dengan cara formal. Dalam pendidikan agama Islam di Indonesia tidak pernah terlepas dari yang namanya pondok pesantren, karena merupakan model pendidikan tertua di Indonesia. 
Pondok pesantren bukan hanya digunakan sebagai tempat mengaji, tetapi sekaligus untuk asrama bagi peserta didik. Di dalam pondok pesantren mereka tinggal bersama-sama sambil belajar hidup mandiri dan membentuk satu keluarga baru dibawah bimbingan seorang kyai. Di dalam pondok pesantren, sistem pengajarannya dengan cara murid duduk melingkar mengelilingi kyai, mereka menerima pelajaran yang sama walaupun usia mereka berbeda-beda. Hal itu disebabkan karena belum di rancangnya sebuah kurikulum tertentu dan lama belajarpun terserah kepada murid. 
Pondok pesantren tumbuh dan berkembang sangat baik dan mempunyai peranan penting dalam usaha mempertahankan eksistensi umat Islam dari serangan dan penindasan yang dilakukan para penjajah beberapa abad lamanya. Sistem pendidikan agama Islam mengalami perubahan dan pembaharuan, dengan pemikiran baru untuk mengejar ketinggalan dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Tujuan semula pendidikan agama Islam adalah supaya anak didik dapat membaca Al-Qur’an dan mengetahui pokok ajaran islam. Maka dengan pemikiran baru ditambahkannya pemberian ilmu tentang alat untuk mempelajari sumber hukum Islam Al-Qur’an dan Hadits yang berupa pendidikan Bahasa Arab. 
Menurut Zuhairini dalam bukunya yang berjudul “sejarah pendidikan Islam” tertulis realisasi pendidikan agama Islam diperkuat dengan adanya pendidikan di surau, langgar, masjid atau tempat-tempat lain yang semacamnya disempurnakan menjadi madrasah, pesantren dan lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan. Sistem klasikal mulai diterapkan, sarana pendidikan seperti: bangku, meja, papan tulis sudah mulai digunakan dan pembagian tingkatan kelas sudah mulai diadakan. Pendidikan formal mulai tersebar di mana-mana, bahkan di kalangan pondok pesantren mulai diterapkan sistem tersebut. (Zuhairini 1992, 217) 
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah lebih memperhatikan pertumbuhan pendidikan agama Islam, dengan diintegrasikan dalam kurikulum sekolah mulai dari sekolah dasar atau madrasah ibtida’iyah sampai universitas negeri atau perguruan tinggi agama islam. Pertumbuhan pendidikan itu dapat kita rasakan sampai sekarang dan harus kita kembangkan lagi menjadi lebih canggih sehingga dapat bersaing dengan pendidikan-pendidikan di negara lain. Apalagi di era globalisasi ini, semakin tipis sekat antara bangsa di dunia dan pengaruh budaya luar semakin merabah. Lembaga pendidikan agama Islam harus mempertahankan peranannya dalam lingkup pendidikan di Indonesia. 
Setelah menguraikan beberapa perkembangan pendidikan di atas, sekarang kita lihat lagi pendidikan agama Islam dalam era sekarang ini. Di era globalisasi ini pendidikan agama Islam mengalami krisis dengan bukti semakin rendahnya kualitas manusia serta rendahnya mutu lembaga pendidikan. Maka untuk menanggulanginya kita sebagai penerus bangsa harus dapat memberdayakan dan mengembangkan lagi dunia pendidikan ini. Cara yang dapat membangkitkan pendidikan agama Islam agar dapat berkembang lagi adalah dengan memperbaiki mutu pendidikan agar dapat mencetak alumni yang bermutu. Dengan alumni bermutu itulah nantinya masyarakat indonesia dapat menghadapi persaingan global dengan percaya diri. Semoga tahun yang akan datang pendidikan agama Islam di Indonesia semakin berkembang lebih baik lagi.

Peranan Guru

PERAN GURU DALAM MENGEMBANGKAN BAKAT SISWA UNTUK BERPRESTASI



1. Pengertian Bakat 
Bakat  adalah kemampuan bawaan yang merupakan potensi yang masih perlu dikembangkan atau dilatih untuk mencapai suatu kecakapan, pengetahuan dan keterampilan khusus, misalnya kemampuan berbahasa, bermain musik, melukis, dan lain-lain. Seseorang yang berbakat musik misalnya, dengan latihan yang sama dengan orang lain yang tidak berbakat musik, akan lebih cepat menguasai keterampilan tersebut. Untuk bisa terealisasi bakat harus ditunjang dengan minat, latihan, pengetahuan, pengalaman agar bakat tersebut dapat teraktualisasi dengan baik. 

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Bakat 
Adapun sebab atau faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan bakat seseorang tidak dapat mewujudkan bakat-bakatnya secara optimal, dengan kata lain prestasinya di bawah potensinya dapat terletak pada anak itu sendiri dan lingkungan. 
a. Anak itu sendiri 
Misalnya anak itu tidak atau kurang berminat untuk mengembangkan bakat-bakat yang ia miliki, atau kurang termotivasi untuk mencapai prestasi yang tinggi, atau mungkin pula mempunyai kesulitan atau masalah pribadi sehingga ia mengalami hambatan dalam pengembangan diri dan berprestasi sesuai dengan bakatnya. 
b. Lingkungan anak 
Misalnya orang tuanya kurang mampu untuk menyediakan kesempatan dan sarana pendidikan yang ia butuhkan atau ekonominya tinggi tetapi kurang memberi perhatian terhadap pendidikan anak. 

3. Kendala-Kendala Guru Dalam Mengembangkan Bakat Siswa 
Mengapa siswa sangat sulit untuk bertindak kreatif? Dalam kenyataannya, seseorang sering menghadapi kendala dalam mengembangkan kreatifitasnya. Dari beberapa sumber kendala tersebut salah satu diantaranya adalah sekolah dan guru. Tanpa disadari oleh guru atau sekolah, sering kita temui beberapa tindakan guru yang bermaksud untuk mengembangkan kreatifitas, namun tindakan yang dilakukan justru membunuh kreatifitas itu sendiri. Misalnya, guru lebih menekankan pada hasil belajar berupa angka-angka ketimbang proses yang mengembangkan kreatifitas, tidak menanggapi umpan balik dari siswa tentang proses kegiatan belajar mengajar atau guru senantiasa mengawasi dan khawatir dengan tindakan siswa di kelas. Beberapa contoh lain dari hambatan pengembangan kreatifitas di sekolah adalah guru sering memberikan instruksi yang terlalu detail tentang apa yang harus dilakukan oleh siswa sehingga siswa tidak mampu berkreasi secara bebas. 

1. PYGMALION EFFECT 
Ketika guru masuk ke dalam kelas, sebenarnya guru telah membawa sebuah sikap yang ditentukan oleh harapan guru tersebut kepada siswanya. Bila guru akan masuk ke dalam kelas yang sebagian besar muridnya memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, maka guru cenderung bersemangat dan memiliki harapan yang tinggi pula terhadap anak-anaknya. Sementara ketika akan masuk ke dalam kelas yang mayoritas siswanya terdiri atas siswa yang memiliki kecerdasan rata-rata maka guru pun akan cenderung memiliki harapan yang rendah. Sikap dan harapan ini akan berdampak pada “semangat” dan sikap guru dalam mengajar anak/siswanya. 
Dalam istilah motvasi kita mengenal istilah Pygmalion effect, yaitu bahwa tanpa disadari seseorang berperilaku sebagaimana ia percaya orang lain mengharapkan ia berperilaku. Jika siswa menyadari atau tidak, gurunya memberikan harapan yang tinggi kepada mereka, maka mereka akan melakukannya sesuai dengan harapan guru tersebut. Namun sebaliknya, bila siswa menyadari atau tidak bahwa gurunya tidak mempercayai mereka bisa berbuat yang terbaik, maka mereka akan cenderung bertindak sesuai dengan harapan gurunya. Oleh karena itu, ketika guru akan masuk ke dalam kelas, maka setiap guru harus berada pada titik 0, yaitu suatu keadaan batin dan sikap netral memandang siswanya untuk kemudian secara sadar memberikan sikap dan perlakuan yang sama kepada semua siswanya. Hal ini akan mengurangi dominasi prasangka dan perasaan ketika akan memulai mengajar. Misalnya, karena masuk ke dalam kelas yang siswanya didominasi oleh siswa cerdas maka guru tersebut memberikan bentuk soal latihan atau test yang lebih menantang sementara karena masuk kelas yang siswanya memiliki kecerdasan rata-rata maka guru memberikan soal atau latihan yang tidak menantang. 
Pygmalion effect juga sering disebut self fulfilling prophesy, yaitu bahwa tanpa disadari orang akan berperilaku sebagaimana mereka percaya orang lain mengharapkan mereka berperilaku (Chaplin, 1976). Jadi pada prinsipnya, prestasi dan kreatifitas siswa akan sangat dipengaruhi juga oleh sikap dan perlakukan guru terhadap mereka. 

2. METODE HAFALAN 
Sampai saat ini, proses kegiatan belajar mengajar di sekolah lebih menekankan pada hasil ketimbang proses. Hal ini tentunya bukan hanya masalah guru namun juga sistem pendidikan Indonesia secara umum yang memang menekankan hasil berupa angka ketimbang pemahaman dan kemampuan siswa dalam memaknai ilmu dan informasi yang diperolehnya. Metode seperti ini, dalam metode pendidikan disebut sebagai “metode menghapal mekanis”. Metode ini termasuk metode yang sering dipakai dalam sistem pendidikan tradisional yang mengharapkan supaya pendidikan “back to basic” untuk memberikan ilmu dasar sebagai landasan kuat bagi siswa untuk masuk kedalam masyarakat. Pandangan ini bisa menjadi benar ketika kita berpikir bahwa pendidikan tidak ada gunanya jika tidak berdasarkan pembelajaran bahan pengetahuan dasar. 
Namun kelemahan dari metode ini adalah bahwa menumpuknya ilmu dalam benak siswa belum tentu akan mampu dieksplor atau dimanfaatkan oleh siswa ketika mereka berhadapan dengan masalah sebenarnya dalam hidup, bahkan bisa jadi masalah apabila proses penumpukan ilmu itu pun dilakukan hanya sebatas ingatan semata. Kreatifitas tidak akan muncul melalui pengumpulan ilmu dan teori namun harus dilatih melalui sebuah proses panjang sampai siswa bisa merasakan sendiri dari manfaat ilmu yang dipelajarinya. Namun dalam perkembangannya, ditengah-tengah masyarakat muncul tuntutan untuk merubah metode tersebut dari metode menghapal mekanis kebentuk metode variatif dimana siswa diberikan kebebasan untuk memahami ilmunya dengan metode “democratic teaching”. Metode democratic teaching lebih menekankan pada proses diskusi dimana siswa diberikan keleluasan waktu untuk mencari pengetahuan secara mandiri dimana guru lebih berperan sebagai fasilitator dan mediator. 

3. TEKANAN TEMAN SEBAYA 
Dalam pertemanan, siswa memiliki masalah yang jauh lebih rumit dari sekedar menghapal sebuah teori atau memahami sebuah rumus. Hampir tidak ada materi pelajaran di kelas yang bisa membekali siswa untuk bisa memahami apa yang mereka alami di lingkungannya. Berbagai macam masalah dan konflik dan permasalahan mengalir begitu deras dalam pergaulan mereka sehari-hari. Berbagai macam karakter guru dan teman terpampang jelas dan menantang di depan wajah mereka. 
Lantas dimana guru berperan?Tekanan dari teman bisa muncul dari sikap teman yang meremehkan, berharap banyak, penilaian, ancaman atau sekedar teror “mental” berupa ucapan terhadap tingkah siswa kita. Tekanan itu sangat berdampak dalam kemampuan siswa untuk mengembangkan potensi bila tidak berhasil di”manage” secara bijak. Proses penenggelaman potensi ini berproses dalam jangka waktu tertentu yang berbeda antara satu siswa dengan siswa lainnya. Sehingga sekolah dan guru memiliki waktu untuk membantu mereka mengatasi masalah dalam pertemanan ini. tanpa bantuan guru, siswa bisa tidak fokus dalam menetapkan prioritas masalah yang harus diselesaikan, diabaikan atau sekedar dipikirkan. Guru hanya membantu dalam proses dimana siswa diberikan masukan, alasan dan alternatif solusi dan setelah itu biarkan siswa memilih sendiri dengan kesadaran untuk menangung segala konsekuensi yang akan dihadapinya. 
Proses penyadaran ini diharapkan melatih kemampuan siswa untuk mengatasi segala permasalahannya secara kreatif dan tidak membuat mereka rendah diri untuk sekedar menunjukkan kemampuannya dihadapan teman-temannya. Penyadaran ini memang membutuhkan kesabaran semua pihak, karena dalam masa perkembangan mereka cenderung untuk merasa benar dan telah mampu berdiri sendiri. Jangan datang kepada mereka namun ketika mereka datang, kita harus dalam posisi ada untuk menyambut mereka. 

4. MENYIKAPI KEGAGALAN 
Kegagalan adalah sebuah kenyataan yang sering dialami oleh setiap orang, termasuk Edison sekalipun. Namun yang menjadi pembeda dengan kita, Thomas Alfa Edison menganggap bahwa setiap kegagalannya adalah sebagai sebuah hasil yang tidak sesuai dengan harapan. Bagi Edison, kegagalan adalah cara dia menemukan sesuatu yang belum benar. Bukan sebagai akhir dari sebuah proses. Guru harus mampu menanamkan kesadaran terhadap siswa didiknya bagaimana mengelola sebuah kegagalan sebagai sebuah hikmah atau ilmu yang bermanfaat bagi dirinya ketika menghadapi permasalahan yang sama dimasa mendatang. Memunculkan motivasi kepada anak untuk mampu bangkit dari kegagalan adalah dengan cara membantu siswa untuk memahami sumber atau penyebab utama terjadinya kegagalan tersebut. Guru harus mampu menggiring bahwa penyebab kegagalan adalah bersumber dari segala sesuatu yang sebenarnya bisa dirubah. 
Kalau ada anak yang menganggap bahwa kegagalan yang diperolehnya karena ketidakmampuan dirinya untuk mencapai keberhasilan, maka guru harus menggiringnya menjadi sesuatu yang bisa dirubah, misalnya karena kurang perencanaan, salah metode atau sekedar kurang giat usaha. Bila siswa tidak diberikan gambaran tentang hal itu dan berkutat dengan keyakinan dirinya, bahwa kegagalan itu adalah karena dirinya tidak mampu, maka siswa akan tidak termotivasi untuk mencapai sasaran berikutnya karena menganggap, tujuan apapun akan gagal karena dirinya tidak mampu. 

5. RASA BOSAN YANG MEMUNCAK 
Kita menganal Thomas alfa Edison yang dikeluarkan dari sekolahnya karena dianggap tidak mampu belajar dengan baik disekolahnya. Kita mengenal Einstein yang dikatakan malas oleh gurunya dan dihakimi tidak akan berhasil dalam hidupnya, begitu juga dengan Charles Darwin yang sering dimarahi gurunya karena lebih senang naik pohon dan mengamati makhluk disekitarnya dibandingkan duduk manis di kelas mendengarkan guru yang sedang mengajar. Contoh-contoh didepan merupakan beberapa contoh bagaimana sekolah kurang mampu mengakomodasi berbagai macam bentuk kecerdasan yang dimiliki oleh siswanya. Sekolah sering terjebak pada sebuah anggapan bahwa semua siswa memiliki potensi, bakat , gaya belajar dan tingkat kepandaian yang sama sehingga pada akhirnya diperlakukan dan dilayani dengan metode yang seragam. Penyeragaman ini sangat berpotensi untuk membuat anak merasa jenuh dan terhambat kreatifitasnya. Dalam beberapa ulasan banyak diuraikan penyebab kejenuhan siswa terhadap kegiatan belajar, salah satunya adalah metode belajar yang tidak tepat, tidak ada variasi pembelajaran, sarana sekolah yang sangat terbatas atau cara guru yang mengajar dengan cara monoton. Dari sebab-sebab diatas, tentunya yang paling berperan untuk melahirkan kembali hasrat untuk berprestasi dan kreatif adalah kemampuan guru dalam merekayasa proses pembalajaran menjadi lebih bermakna, berwarna dan bergaya. Semoga tulisan ini sedikitnya mampu memberikan wawasan bagi guru dan sekolah untuk menghindari berbagai macam hal yang dapat menghambat bahkan mematikan kreatifitas siswa di sekolah. 

4. Pengertian Peserta Didik 
Peserta didik adalah setiap manusia yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal, pada jenjang pendidikan dan jenis pendidikan tertentu. Peserta didik juga dikenal dengan istilah lain seperi Siswa, Mahasiswa, Warga Belajar, Pelajar, Murid serta Santri. 

5. Macam-Macam Kebutuhan Siswa 
Pemenuhan kebutuhan siswa disamping bertujuan untuk memberikan materi kegiatan setepat mungkin, juga materi pelajaran yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan biasanya menjadi lebih menarik. Dengan demikian akan membantu pelaksanaan proses belajar-mengajar. Adapun yang menjadi kebutuhan siswa antara lain : 
a. Kebutuhan Jasmani Hal ini berkaitan dengan tuntutan siswa yang bersifat jasmaniah. 
b. Kebutuhan Rohaniah Hal ini berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan siswa yang bersifat rohaniah c. Kebutuhan Sosial Pemenuhan keinginan untuk saling bergaul sesama peserta didik dan Pendidik serta orang lain. Dalam hal ini sekolah harus dipandang sebagai lembaga tempat para siswa belajar, beradaptasi, bergaul sesama teman yang berbeda jenis kelamin, suku bangsa, agama, status sosial dan kecakapan. 
d. Kebutuhan Intelektual Setiap siswa tidak sama dalam hal minat untuk mempelajari sesuatu ilmu pengetahuan dan peserta didik memiliki minat serta kecakapan yang berbeda beda. Untuk mengembangkannya bisa ciptakan pelajaran-pelajaran ekstra kurikuler yang dapat dipilih oleh siswa dalam rangka mengembangkan kemampuan intelektual yang dimilikinya. 

6. Kaitan Antara Bakat dan Prestasi 
Bakat memungkinkan seseorang untuk mencapai prestasi dalam bidang tertentu, akan tetapi diperlukan latihan, pengetahuan, pengalaman, dan dorongan atau motivasi agar bakat itu dapat terwujud. Misalnya seorang mempunyai bakat menggambar, jika ia tidak pernah diberi kesempatan untuk mengembangkan, maka bakat tersebut tidak akan tampak. Jika orang tuanya menyadari bahwa ia mempunyai bakat menggambar dan mengusahakan agar ia mendapat pengalaman yang sebaik-baiknya untuk mengembangkan bakatnya, dan anak itu juga menunjukkan minat yang besar untuk mengikuti pendidikan menggambar, maka ia akan dapat mencapai prestasi yang unggul bahkan dapat menjadi pelukis terkenal. Sebaliknya, seorang anak yang mendapat pendidikan menggambar dengan baik, namun tidak memiliki bakat menggambar, maka tidak akan pernah mencapai prestasi unggul untuk bidang tersebut. Keunggulan yang dimiliki siswa dalam salah satu bidang baik seni, sastra auatupun matematika merupakan hasil interaksi dari bakat yang dibawa sejak lahir dan faktor lingkungan yang menunjang, termasuk minat dan dorongan pribadi. 

7. Upaya Guru Dalam Mengembangkan Bakat Siswa Untuk Berprestasi 
Guru sangat berperan penting dalam mengembangkan bakat siswa dalam berprestasi di sekolah. Kerjasama antara guru, keluarga, dan lingkungan sekitar sangat penting untuk mengembangkan bakat tersebut. Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan antara keluarga, guru, dan lingkungan adalah sebagai berikut : 
a. Sejak usia dini cermati berbagai kelebihan, keterampilan dan kemampuan yang tampak menonjol pada anak 
b. Bantu anak meyakini dan fokus pada kelebihan dirinya 
c. Kembangkan konsep diri positif pada anak 
d. Perkaya anak dengan berbagai wawasan, pengetahuan serta pengalaman di berbagai bidang 
e. Usahakan berbagai cara untuk meningkatkan minat anak untuk belajar dan menekuni bidang keunggulannya serta bidang-bidang lain yang berkaitan 
f. Tingkatkan motivasi anak untuk mengembangkan dan melatih kemampuannya 
g. Stimulasi anak untuk meluaskan kemampuannya dari satu bakat ke bakat yang lain 
h. Berikan penghargaan dan pujian untuk setiap usaha yang dilakukan anak 
i. Sediakan dan fasilitasi sarana bagi pengembangan bakat 
j. Dukung anak untuk mengatasi berbagai kesulitan dan hambatan dalam mengembangkan bakatnya k. Jalin hubungan baik serta akrab antara orang tua / guru dengan anak 
l. Menyalurkan bakat tersebut 
m. Memberikan kesempatan untuk mengikuti lomba-lomba sesuai bakat yang dimiliki


By: Isna Chaerany

Majukan Dunia Pendidikan Melalui Peningkatan Kualitas Guru


Program peningkatan kualitas guru dalam mengajar para siswa yang digagas Pertamina, yakni Teacher Quality Improvement Program (TEQIP) kini telah berjalan selama 4 tahun. Program yang memberikan pelatihan bagi guru SD dan SMP dari Sabang sampai Merauke tersebut merupakan kegiatan hasil kerja sama antara Pertamina dengan Universitas Negeri Malang. TEQIP adalah sistem pembelajaran yang diberikan kepada para guru dikemas terintegrasi dengan lesson study. 

Dalam program TEQIP, para guru mendapatkan pelatihan dan pembekalan di Universitas Negeri Malang. Kegiatan tersebut dilanjutkan dengan program diseminasi. Setelah mengikuti diseminasi, para guru wajib menyebarkan pengalamannya kepada 9 guru di sekolahnya atau melalui kelompok kerja guru (KKG), dan selanjutnya mempraktikkannya di sekolah masing-masing. 

Bagi Ema, guru SD asal Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), mengikuti TEQIP merupakan kesempatan berharga yang tak ternilai. 

"Saya senang bisa diangkat menjadi trainer. Pelatihan yang dierikan begitu menyenangkan, tidak membosankan walaupun harus menguras otak. Apa yang saya dapat, terus saya tularakan karena saya terpilih menjadi trainer," katanya bersemangat. 

Ema yang merupakan peserta TEQIP angkatan ke-4, telah mengikuti diseminasi pada bulan Agutus 2013. Selama sepekan, Dia bersama 111 guru lainnya yang berasal dari Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utara mendapatkan pelatihan dan mengerjakan berbagai project pengajaran dengan alat peraga, maupun media lainnya. 

"Dengan pelatihan ini, saya tidak mau menjadi guru 'pokoknya'. Artinya setiap ditanya anak didik tidak akan memberikan jawaban 'pokoknya begini atau begitu'. Tetapi saya harus bisa menjelaskan dengan berbagai media agar bisa dipahami anak-anak," katanya. 

Pembekalan TEQIP juga telah membangun rasa percaya dirinya menjadi motivator bagi para siswa maupun rekan sesama guru lainnya. "Kita jadi paham, kenapa anak-anak di kota lebih cepat cara berpikirnya, karena sistem pengajarannya menggunakan berbagai media atau dengan cara kreatif. Kini saya tak ingin anak didik saya ketinggalan dengan anak-anak perkotaan," ujar Ema penuh semangat. 

Koordinator TEQIP Isnandar menyatakan, perjalanan TEQIP yang telah memasuki tahun keempat, berjalan dengan banyak tantangan dan penuh risiko. Universitas Negeri Malang dan Pertamina melakukan survei ke sejumlah daerah pedalaman, daerah yang tidak terjangkau untuk mencari para trainer. "Program ini dirancang sangat khusus bagaimana meningkatkan mutu pendidikan tidak hanya menjadikan guru profesional, tapi melebihi guru profesional," kata pria yang akrab disapa Is tersebut. 

Sementara itu Manager SME & SR Region II Gatoto Siswowijono menyatakan target Pertamina membekali para guru adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan. "Peningkatan mutu pendidikan dimulai dari guru, bagaimana guru tersebut bisa mencapai target pembelajaran untuk siswa. Guru harus didorong untuk tidak sekadar menyampaikan pelajaran, tetapi juga dapat memberikan motivasi kepada siswa," kata Gatot. 

Program TEQIP yang dilaksanakan selama 4 tahun ini, telah menjangkau 22 kabupaten di 12 provinsi dan ditargetkan menjaring 1.000 guru dari Sabang sampai Merauke.


Sumber:
http://news.liputan6.com/read/773140/majukan-dunia-pendidikan-melalui-peningkatan-kualitas-guru

Pengembangan Kurikulum

KTSP


2.1 Hakikat Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 
A. Pengertian KTSP
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan Bab 1 Pasal 1 Ayat (15) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah “ kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan.” KTSP merupakan penyempurnaan dari kurikulum 2004 (KBK) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan atau sekolah. Kurikulum tersebut telah diberlakukan secara berangsung-angsur mulai tahun pelajaran 2006/2007, pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Berdasarkan definisi tersebut, maka pihak sekolah diberikan kewenangan penuh untuk mengembangkan dan mengimplementasikan kurikulum. Implementasi KTSP menuntut kemampuan sekolah dengan cara memberikan otonomi yang lebih besar kepada sekolah dalam pengembangan kurikulum, karena masing-masing sekolah lebih mengetahui tentang kondisi satuan pendidikannya. Kurikulum merupakan sejumlah mata pelajaran yang harus diselesaikan oleh siswa serta rencana pembelajaran yang dibuat oleh guru dan sejumlah pengalaman belajar yang harus dilakukan oleh siswa. Dalam penyelenggaraan pendidikan perlu adanya komponen-komponen pendidikan agar tercapainya tujuan pendidikan, di antaranya adalah tenaga pendidik, peserta didik, lingkungan, alat-alat pendidikan, kurikulum dan fasilitas yang mendukung tercapainya tujuan pendidikan.

B. Konsep Dasar KTSP
Dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP Pasal 1, ayat 15) dikemukakan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Penyusunan KTSP dilakukan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan dan berdasarkan standar kompetensi serta kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP).
KTSP disusun dan dikembangkan berdasarkan Undang-Undang Nomer 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat 1 dan 2 sebagai berikut:
1. Pengembangan kurikulum mengacu pada Standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan Tujuan Pendidikan Nasional.
2. Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik.
KTSP merupakan strategi pengembangan kurikulum untuk mewujudkan sekolah yang efektif, produktif dan berprestasi. KTSP merupakan paradigma baru pengembangan kurikulum, yang memberikan otonomi luas pada setiap satuan pendidikan, dan pelibatan masyarakat dalam rangka mengefektifkan potensi belajar mengajar di sekolah. Otonomi diberikan agar setiap satuan pendidikan dan sekolah memiliki keleluasaan dalam mengelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar dan mengalolasikannya sesuai prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat.
Dalam KTSP pengembangan kurikulum dilakukan oleh guru, kepala sekolah, serta komite sekolah dewan pendidikan. Badan ini merupakan lembaga yang ditetapkan berdasarkan musyawarah dari pejabat daerah setempat, komisi pendidikan pada dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD), pejabat pendidikan daereah, kepala sekolah, tenaga kependidikan, perwakilan orangtua peserta didik dan tokoh masyarakat. Lembaga inilah yang menetapkan segala kebijakan sekolah berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang pendidikan yan berlaku. Selanjutnya komite sekolah perlu merumuskan dan menetapkan visi, misi dan tujuan sekolah dengan berbagai implikasinya terhadap program kegiatan operasional untuk mencapai tujuan sekolah.

C. Tujuan KTSP 
Secara umum tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk mendirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberikan kewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum. Secara khusus tujuan diterapkanya KTSP adalah untuk:
1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengembangkan kurikulum, mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia.
2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama.
3. Meningkatkan kompetensi yang sehat antar satuan pendidikan tentang kualitas pendidikan yang akan dicapai.

D. Landasan Pengembangan KTSP
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dilandasi oleh undang-undang dan peraturan pemerintah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Dalam Undang-Undang
Sisdiknas dikemukakan bahwa Satandar Nasional Pendidikan (SNP) teridiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. SNP digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan dan pembiayaan. Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standarisasi, penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 adalah peraturan tentang standar Nasional Pendidikan (SNP). SNP merupakan criteria minimal tentang system pendidikan di seluruh wilayah hokum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam peraturan tersebut dikemukakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dalam peraturan tersebut dikemukakan bahwa KTSP adalah kurikulum operasional yang dikembangkan berdasarkan standar kompetensi lulusan (SKL) dan standar isi.
3. Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 22 Tahun 2006
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 mengatur tentang standar isi untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang selanjutnya disebut standar isi, mencakup lingkup materi minimal dan tingkat kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional no. 23 Tahun 2006 mengatur Standar Kompetensi Lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah digunakan sebagai pedoman penilaian dalam menentukan kelulusan peserta didik. Standar Kopetensi Lulusan meliputi standar kompetensi lulusan minimal satuan pendidikan dasar dan menengah, standar kompetensi lulusan minimal mata pelajaran dan standar kompetensi lulusan minimal mata pelajaran, yang akan bermuara pada kompetensi dasar. 5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2006 mengatur tentang pelaksanaan SKL dan Standar isi. Dalam peraturan ini dikemukakan bahwa satuan pendidikan dasar dan menengah mengembangkan dan menetepkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah sesuai kebutuhan satuan pendidikan yang bersangkutan, berdasarkan pada: a. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 36 sampai dengan Pasal 38 b. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 5 sampai dengan pasal 18 dan pasal 25 sampai pasal 27 c. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23 Tahun 2006 tentang standar kompetensi lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah

2.2 Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah. Pengembangan KTSP mengacu pada SI dan SKL dan berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP, serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah/madrasah. Penyusunan KTSP untuk pendidikan khusus dikoordinasi dan disupervisi oleh dinas pendidikan provinsi, dan berpedoman pada SI dan SKL serta panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya
b. Beragam dan terpadu
c. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
d. Relevan dengan kebutuhan kehidupan
e. Menyeluruh dan berkesinambungan
f. Belajar sepanjang hayat g. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah 

2.3 Ciri-ciri Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 
1. KTSP memberi kebebasan kepada tiap-tiap sekolah untuk menyelenggarakan program pendidikan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah, kemampuan peserta didik, sumber daya yang tersedia dan kekhasan daerah.
2. Orang tua dan masyarakat dapat terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran.
3. Guru harus mandiri dan kreatif.
4. Guru diberi kebebasan untuk memanfaatkan berbagai metode pembelajaran.

2.4 Kelebihan dan Kekurangan KTSP bagi Pendidikan 
Kelebihan: 
• Mendorong terwujudnya otonomi sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan.
• Mendorong para guru, kepala sekolah, dan pihak manajemen sekolah untuk semakin meningkatkan kreativitasnya dalam penyelenggaraan program-program pendidikan.
• KTSP memungkinkan bagi setiap sekolah untuk menitikberatkan dan mengembangkan mata pelajaran tertentu yang aspektabel bagi kebutuhan siswa.
• KTSP akan mengurangi beban belajar siswa yang sangat padat dan memberatkan kurang lebih 20%. • KTSP memberikan peluang yang lebih luas kepada sekolah-sekolah plus untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan.
Kekurangan:
• Kurangnya SDM yang diharapkan mampu menjabarkan KTSP pada kebanyakan satuan pendidikan yang ada.
• Kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana pendikung sebagai kelengkapan dari pelaksanaan KTSP.
• Masih banyak guru yang belum memahami KTSP secara Komprehensif baik konsepnya, penyusunanya maupun prakteknya di lapangan.
• Penerapan KTSP yang merokomendasikan pengurangan jam pelajaran akan berdampak berkurangnya pendapatan guru.

2.5 Perbedaan dan Persamaan KTSP dengan Kurikulum Sebelumnya 
a.       Pada umumnya perbedaan KTSP dengan kurikulum sebelumnya
No.
KTSP
Kurikulum Sebelumnya
1.
Dibuat oleh sekolah
Dibuat oleh pusat
2.
Berbasis kompetensi
Berbasis kontens
3.
Siswa aktif
Guru aktif
4.
Berdasar Standar Nasional
Belum ada Standar Nasional

b.      Perbedaan KTSP dengan KBK ( kurikulum 2004 )

KBK
KTSP
Kurang operasional
Lebih operasional
Guru cenderung tidak kreatif
Guru lebih kreatif
Guru menjabarkan kurikulum yang dibuat Depdiknas
Guru membuat kurikulum sendiri
Sekolah kurang diberi kewenangan untuk mengembangkan kurikulum
Sekolah diberi keleluasaan untuk mengembangkan kurikulum
Kurang relevan dengan otonomo daerah
Lebih relevan

Persamaan KTSP dengan KBK
1. Menekankan pada aspek kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa.
2. Merupakan kurikulum yang bersifat otonomi daerah dimana setip daerah diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkanya.
3. Adanya persamaan dalam perancangan pembelajaran berupa adanya standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator pencapaian.
4. Adanya sistem evaluasi dalam penenentuan hasil belajar sisiwa.
5. Adanya kebebasan dalam pengembangan yang dilakukan oleh guru waluapun di KTSP itu guru diberikan kebebasan yang lebih.
6. Berorientasi pada prinsip pendidikan sepanjang hayat. 7. Memerlukan sarana dan prasarana yang memadai.


By:Isna Chaerany

PERENCANAAN PEMBELEAJARAN

(MODEL PEMBELAJARAN KONTEMPORER)


A. Pengertian Pembelajaran Kontemporer 
Pembelajaran teori kontemporer adalah pembelajaran berdasarkan teori belajar konstruktivisme. Pembelajaran berfungsi membekali kemampuan siswa mengakses berbagai informasi yang dibutuhkan dalam belajar. Sesuai dengan prinsip belajar teori konstruktivisme, maka dalam pembelajarannya nampak ada pergeseran fungsi guru dan buku sumber sebagai sumber informasi. Guru lebih berfungsi membekali kemampuan siswa dalam menyeleksi informasi yang dibutuhkan. 

B. Menerapkan Pembelajaran Student-Centered Learning Strategies 
Pembelajaran konstruktivisme mengkritisi konsep pembelajaran yang selama ini, belajar mengajar dalam arti cenderung berpusat pada subjek belajar. Pengajar dan siswa sama-sama aktif, siswa aktif mengkonstruksi pengetahuan dan pengajar sebagai fasilitator. Bentuk pembelajaran “student-centered” dilaksanankan melalui belajar aktif, belajar mandiri, belajar kooperatif dan kolaboratif, generative learning dan problem-based learning. 
Model pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan teori konstruktivisme mencakup pembelajaran kontekstual dan kuantum. 
1. Model Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning) 
Dirancang dan dilaksanakan berdasarkan landasan filosofis konstruktivisme, yaitu suatu filosofis belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal. Konstruktivisme berakar pada filsafat pragmatisme yang dikembangkan oleh John Dewe pada awal abad 20 tahun yang lalu. Pembelajaran kontekstual adalah konsep pembelajaran yang membantu guru dalam mengkaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan 7 komponen utama pembelajaran efektif, yaiu konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, permodelan dan penilaian sebenarnya. 
a. Konstruktivisme 
Konstruktivisme merupakan landasan berfikir yang dipergunakan dalam pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Dalam pandangan konstruktivis, “strategi memperoleh” lebih diutamakan dibandingkan aseberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu, tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan : 
1. Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa 
2. Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri 
3. Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar 

b. Menemukan 
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CLT (Contekstual Learning and Teaching). Langkah-langkah kegiatan menemukan (inkuiri) : 
1. Merumuskan masalah 
 Dalam mata pelajaran apapun. Bagaimanakah silsilah raja-raja majapahit? (Sejarah), Bagaimanakah cara melukiskan suasana menikmati ikan bakar di tepi pantai kendari? (Bahasa Indonesia), Ada beberapa jeni tumbuhan menurut bentuk bijinya? (Biologi), Kota mana saja yang termasuk kota besar Indonesia? (Geografi). 
2. Mengamati atau melakukan observasi 
Membaca buku atau sumber lain untuk mendapatkan informasi pendukung, mengamati, dan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari sumber atau objek yang diamati. 
 3. Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel dan karya lainnya. 
4. Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audien yang lain : bertanya jawab dengan teman memunculkan ide-ide baru, melakukan refleksi, menempelkan gambar, karya tulis, peta, dan sejenisnya di dinding kelas, dinding sekolah, majalah dinding, majalah sekolah, dsb. 

c. Bertanya 
Questioning (bertanya) merupakan strategi tahap pembelajaran yang berbasis CLT. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berfikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inkuiri, yaitu menggali informasi, dan mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. 

d. Masyarakat belajar 
Learning Community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Dalam kelas CLT, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok yang anggotanya bersifat heterogen. Misalnya ahli internet, sablon dan sebagainya. “Masyarakat belajar” bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. “seorang guru yang mengajari siswanya” bukan contoh masyarakat belajar karena komunikasi hanya terjadi satu arah, yaitu informasi hanya datang dari guru ke arah siswa, tidak ada arus informasi yang perlu dipelajari oleh guru yang datang dari arah siswa. Kegiatan saling belajar ini bisa terjadi bila tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, semua pihak mau saling mendengarkan. Setiap pihak harus merasa bahwa setiap orang memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan yang berbeda yang perlu dipelajari. 

e. Permodelan 
Maksudnya dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu ada model yang bisa di tiru. Model itu bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu atau guru memberi contoh cara mengerjakan sesuatu. Dengan begitu guru memberi model tentang bagaimana cara belajar. 

f. Refleksi 
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru di pelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa yang lalu. Siswa mengedepankan apa yang baru di pelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Pengetahuan yang bermakna di peroleh dari proses. Pengetahuan yang dimiliki siswa diperluas melalui konteks pembelajaran, kemudian sedikit demi sedikit bagaimana pengetahuan itu mengendap di benak siswa. Pada akhir pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. 

g. Penilaian yang sebenarnya 
Penilaian adalah proses pengumpulan data yang memberikan gambaran perkembangan siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu di ketahui oleh guru agar bisa memastikan siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan guru mengidentifikasi siswa mengalami kemacetan belajar maka guru segera mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari kemacetan belajar karena gambaran tentang kemajuan belajar diperlukan sepanjang proses pembelajaran, maka assesment tidak dilakukan di akhir periode pembelajaran tetapi dilakukan bersama secara integrer tidak terpisah dari kegiatan pembelajaran. Pembelajaran yang benar ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari (Learning How To Learn) bukan di tekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir periode pembelajaran karena assesment menekankan pada proses pembelajaran. Kemajuan belajar dinilai dari proses bukan melulu hasil. 

2. Model Pembelajaran Kuantum 
Pengertian Quantum Teaching dapat di pahami melalui tiga hal yaitu : 
1) Quantum berarti interaksi yang berarti mengubah energi menjadi cahaya. Teaching berarti pembelajaran, untuk menghilangkan kesan “dominasi” tugas guru terhadap siswa, dan memberikan “pengakuan” lebih terhadap kemampuan siswa untuk belajar dengan bantuan dan bimbingan guru. Jadi Quantum Teaching atau pembelajaran kuantum adalah pembelajaran yang mengorkestrasikan berbagai interaksi yang berada di dalam dan di sekitar momen belajar, sehingga kemampuan dan bakat alamiah siswa berubah menjadi cahaya (kemampuan aktual). 
2) Percepatan belajar, berarti menyingkirkan hambatan yang menghalangi proses belajar alamiah dengan sengaja seperti menggunakan musik, mewarnai lingkungan sekeliling, menyusun bahan pengajaran yang sesuai, cara efektif penyajian, dan keterlibatan aktif. 
3) Fasilitasi, merujuk pada implementasi strategi yang menyingkirkan hambatan belajar, mengembalikan proses belajar ke keadaannya yang mudah dan alami. Fasilitasi termasuk penyediaan alat bantu yang memudahkan siswa belajar. Dalam proses pembelajaran terjadi oskestrasi (penggubahan, penyelarasan, pemberdayaan komunitas belajar), sehingga orang-orang yang terlibat sama-sama merasa senang dan bekerja saling membantu untuk mencapai hasil yang optimal. 
Pembelajaran kuantum di rancang berdasar tiga hal, yaitu: asas utama, prinsip-prinsip dan model. Belajar adalah kegiatan full contact, suatu kegiatan yang melibatkan seluruh kepribadian manusia (pikiran, perasaan dan bahasa tubuh) disamping pengetahuan, sikap dan keyakinan sebelumnya serta persepsi masa datang. Belajar berurusan dengan orang secara keseluruhan, kegiatan ini dapat dicapai jika guru telah memasuki kehidupan siswa caranya yaitu dengan mengaitkan apa yang di ajarkan guru dengan peristiwa, pikiran atau perasaan yang diperoleh dari kehidupan rumah, sosial, atletik, musik, seni, rekreasi atau akademik siswa. 
Prinsip-prinsip pembelajaran kuantum yang digunakan dalam pembelajaran kuantum terdiri dari : 
a. Segalanya berbicara 
Prinsip segalanya berbicara mengandung pengertian bahwa segala sesuatu di ruang kelas “berbicara”, mengirim pesan tentang belajar dari lingkungan kelas hingga bahasa tubuh guru, dari kertas yang dibagikan hingga rancangan pelajaran. Dalam proses pembelajaran, guru wajib mengubah kelas menjadi “komunitas belajar” masyarakat mini yang setiap detailnya telah diubah untuk mendukung belajar optimal dari cara mengatur bangku, menentukan kebijakan kelas, cara merancang pengajaran. b. Segalanya bertujuan 
Berarti semua upaya yang dilakukan guru dalam mengubah kelas mempunyai tujuan, yaitu agar siswa dapat belajar secara optimal untuk mencapai prestasi tertinggi. 
c. Pengalaman sebelum pemberian nama 
Proses belajar paling baik terjadi ketika siswa telah mengalami informasi sebelum mereka memperoleh nama untuk hal-hal yang mereka pelajari. Pengalaman menciptakan ikatan emosional dan peluang untuk penamaan. Pengalaman juga menciptakan pertanyaan mental, membangun keingintahuan siswa. Dalam kondisi demikian barulah guru memberikan nama : menjelaskan materi pelajaran. Model pembelajaran kuantum mengambil bentuk hampir sama dengan sebuah simponi yang membagi unsur pembentuk mencari dua kategori yaitu konteks dan isi.


By: Isna Chaerany

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL (KEBUDAYAAN)

2.1 Pengertian Kebudayaan 
Budaya meupakan istilah yang banyak dijumpai dan digunakan hampir dalam setiap aktivitas sehari-hari. Hal ini merupakan bahwa budaya begitu dekat dengan lingkungan kita. Kebudayaan berasal dari kata cultuure (Belanda) culture (Inggris) dan colere (Latin) yang artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan,dan mengembangkan terutama pengolahan tanah yang kemudian berkembang menjadi segala daya dan aktivitas manusia-manusia untuk mengolah dan mengubah alam. 
Dari bahasa Indonesia (Sangsekerta) “Buddhayah” yaitu bentuk jamak dari Buddhi yang berarti budi atau akal. Pendapat lain “Budaya” adalah sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budi-daya, yang berarti daya dari budi, karena itu mereka membedakan antara budaya dan kebudaan. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa. Kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa tersebut. 
Definisi memiliki banyak arti yang berbeda namun memiliki prinsip yang sama yaitu mengakui adanya ciptaan manusia, meliputi prilaku dan hasil kelakuan manusia, yang diatur oleh tata kelakuan yang diperoleh dengan belajar yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. 
Di dalam masyarakat kebudayaan diartikan “the general body of the art” yang meliputi seni sastra, seni musik, seni pahat, seni rupa, dan pengetahuan filsafat. Dan akhirnya mendapatkan kesimpulan bahwa kebudayaan adalah hasil budi manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup atau segala sesuatu yang diciptakan manusia baik yang konkrit dan abstrak. 
Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa budaya itu berkaitan dengan tiga kata kunci yang mencangkup (1) gagasan, (2) prilaku, dan (3) hasil karya manusia. Sebagai pedoman pembahasan, pengertian kebudayaan yakni merupakan program bertahan hidup dan adaptasi suatu kelompok dengan lingkungannya. Program budaya terdiri dari pengetahuan, konsep dan nilai- nilai yang dimiliki oleh anggota kelompok melalui sistem komunikasi. Esensi budaya bukan pada benda, alat atau elemen budaya yang terlihat lainnya namun bagaimana kelompok menginterprentasikan, menggunakan dan merasakannya. 

2.2 Proses Perkembangan Kebudayaan 
Perkembangan kebudayaan terhadap dinamika kehidupan seseorang bersifat kompleks, dan memilki eksistensi dan berkesinambungan dan juga menjadi warisan sosial. Seseorang mampu mempengaruhi kebudayaan dan memberikan peluang untuk terjadinya perubahan kebudayaan. 
Kebudayaan yang dimiliki suatu kelompok tidak akan terhindar dari pengaruh pengaruh kebudayaan kelompok-kelompok lain dengan adaya kontak-kontak antar kelompok atau melalui proses difusi. Suatu kelompok sosial akan mengadopsi suatu kebudayaan tertentu apabila kebudayaan tersebut berguna untuk mengatasi atau memenuhi tuntutan yang dihadapinya. Pengadopsian tersebut diprngaruhi oleh faktor-faktor fisikal, seperti iklim, topografi sumber daya alam dan sejenisnya. Perkembangan zaman juga mendorong terjadinya perubahan-perubahan disegala bidang termasuk dalam kebudayaan. Mau tidak mau kebudayaan yang dianut semua kelompok sosial akan bergeser baik itu secara lambat maupun cepat yang akan menimbulkan antara kelompok-kelompok yang menghendaki perubahan dan yang tidak menghendaki perubahan. 
Hal yang terpenting dalam proses pengembangan suatu kebudayaan adalah dengan adanya kontrol atau kendali terhadap perilaku reguler (yang tampak) yang ditampilkan oleh para penganut kebudayaan. Karena tidak jarang perilaku yang ditampilkan sangat bertolak belakang dengan perilaku yang dianut didalam kelompok sosialnya.Yang diperlukan disini adalah kontrol sosial yang ada dimasyarakat, yang menjadi suatu “cambuk” bagi komunitas yang menganut kebudayaan tersebut. Sehingga mereka dapat memilah-milah, mana kebudayaan yang sesuai dan mana yang tidak sesuai. 

2.3 Unsur-unsur Kebudayaan 
E.B.Tylor (1832-1917) memandang budaya sebagai konpleksitas hal yang meliputi pengetahuan, kepercaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan serta kebiasan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Menurut Claude Levi-Strauss, kebudayaan harus dipandang dalam konteks teori komunikasi yaitu sebagai keselurahan sistem simbol (Bahasa, kekerabatan, ekonomi, mitos, seni) yang pada berbagai tingkat memungkinkan dan mengatur komukasi. Hal ini karena manusia adalah Homo simbolicum. Unsur unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat adalah sebagai berikut: 
1. Sistem religi dan ucapan keagamaan 
Kepercayaan manusia terhadap adanya sang pencipta yang muncul karena kesadaran bahwa ada zat yang lebih dan Maha Kuasa. 
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan 
Sistem yang muncul karena kesadaran manusia bahwa meskipun diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna namun tetap memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing antar individu sehingga timbul rasa untuk berorganisasi dan bersatu. 
3. Sistem pengetahuan 
Sistem yang terlahir karena setiap manusia memilki akal dan pikiran yang berbeda sehingga memunculkan dan mendapatkan sesuatu yang berbeda pula. 
4. Bahasa 
Sesuatu yang berawal dari hanya sebuah kode, tulisan hingga berubah sebagai lisan untuk memprmudah komunikasi antar manusia. Bahkan sudah ada bahasa yang dijadikan bahasa universal seperti bahsa Inggris. 
5. Kesenian 
Setelah memenuhi kebutuhan fisik manusia juga memerlukan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan fisikis mereka sehingga lahirlah kesenian yang dapat memuaskan. 
6. Sistem mata pencaharian hidup 
Terlahir karena manusia memiliki hawa nafsu dan keinginan yang tidak terbatas dan selalu ingin lebih. 
7. Sistem teknologi dan peralatan 
Sistem yang timbul karena manusia mampu menciptakan barang-barang dan sesuatu yang baru agar dapat memenuhi kebutuhan hidup. 

2.4 Sifat-sifat Kebudayaan 
Kendati kebudayaan dimiliki oleh setiap masyarakat itu tidak sama, seperti di Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang berbeda, tetapi setiap kebudayaan memiliki ciri dan sifat yang sma. Sifat tersebut bukan diartikan secara spesifik, melainkan bersifat universal. Dimana sifat-sifat budaya itu memilki ciri-ciri yang sama bagi setiap kebudayaan manusia tanpa membedakan faktor ras, lingkungan alam, atau pendidikan. Yaitu sifat hakiki yang berlaku bagi setiap budaya dimanapun juga. Sifat hakiki dari kebudayaan tersebut, antara lain: 
1. Budaya terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia. 
2. Budaya telah ada terlebih dahulu dari pada lahirnya suatu generasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usua generasi yang bersangkutan. 
3. Budaya diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dlam tingkah laku. 
4.Budaya mencakup peraturan-peraturan yang berisi kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan, yang diterima atau ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang, dan tindakan-tindakan yang diijinkan. 
Sifat hakiki tersebut menjadi ciri setiap budaya. Akan tetapi, apabila seseorang atau sekelompok orang yang memahami sifat hakiki yang esensial, terlebih dahulu ia harus memecahkan pertentangan-pertentangan yang ada didalamnya. 

2.5 Budaya dan Non Budaya 
Yang membedakan budaya dengan non budaya adalah hal-hal yang non budaya mencangkup benda yang keberadaannya sudah ada dengan sendirinya atau ciptaan Tuhan yang tidak/belum mendapat sentuhan aktivitas manusia (Benda-benda alamiyah seperti batu, pohon, gunung, tanah). Sementara itu, budaya mencangkup sesuatu yang keberadaannya sudah dapat sentuhan tangan manusia misalnya patung marmer, bonsai, bangunan, aturan maka, dan lain-lain. Jadi, batu dan kayu dapat dipandang sebagai non budaya bila didapatkan apa adanya sebagai batu gunung dan pepohonan, namun menjadi sebuah benda budaya bila mendapat campur tangan manusia. 

2.6 Budaya dan Lingkungan 
Pada dasarnya kita tidak bisa lepas dan terpisah dari lingkungan kita. Pada dasarnya kelompok sosial merupakan kolektivitas manusia yang kurang lebih permanen yang hidup bersama dan berinteraksi dan berbagai lingkungan yang mengitari dirinya. Kelompok sosial bertahan hidup dengan beradaptasi dengan mengubah lingkungannya. Pengetahuan, ide, dan keterampilan yang memungkinkan suatu kelompokuntuk bertahan hidup dapat dipandang sebagai program bertahan hidup atau budaya. Keberhasilan bertahan hidup suatu kelompok tergantung pada jenis lingkungan yang dihadapi kelompok. 
Pertama, ada ligkungan geografis, atau habitat fisik. Lingkungan ini memberikan keunikan alamiah dimana kelomok sosial itu beradaptasi dengan atau mengubah lewat teknoginya. 
Kedua, anggota kelompok sosial harus hidup bersama dan berinteraksi. Kelompok sosial sebagai satu kesuluruhan memiliki kelompok lain sebagai tetangga yang akan membentuk lingkungan sosial dengan mana mereka juga berinteraksi. Beberapadari kelompok ini ada interaksi lokal dan memungkinkan interaksi tatap muka, sedangkan yang lain lebih berjarak. Dalam skala dunia, kelompok sosial utama seperti negara hidup dalam lingkungan sosial regional global dan harus beradaptasi dengan negara lain. Bagian budaya sebagian besar tersusun dari semua kebiasaan dan aturan yang memungkinkan semua skala interaksi yang berbeda ini dilakukan. 
Ketiga, ada suatu jenis lingkungan yang biasanya kita tidak memikirkannya karena tidak terlihat atau berinteraksi dalam dunia ini. Namun kenyataannya jutaan manusia dan sangat mempengaruhi hidup. Asalnya terletak pada apa yang difikirkan terhadap dorongan manusia yang mendasar ( a basic human drive) atau kebutuhan universal untuk menentukan makna dan penjelasan dalam hidupnya. Satu cara untuk memuaskan kebutuhan akan makna ini adalah mengembangkan keyakinan bahwa hidup ditentukan oleh sesuatu yang lebih tinggi, yang adanya di luar umat manusia, seperti Tuhan atau hal-hal super natural lainnya. 
Tanpa memasukkan lingkungan metafisik dalam pembahasan ini, sulit untuk memahami secara utuh mengapa beberapa kelompok sosial hidup sebagaimana mereka lakukan. Misalnya, suku Badui di Jawa Barat yang lebih menghargai kakinya untuk diberi bantal ketika tidur daripada kepalanya karena memandang bahwa kaki lebih digunakan untuk menopang seluuh anggota tubuh mereka. Hal esensial tentang praktek ini dan berbagai tempat lain di dunia ini adalah bahwa lingkungan metafisik yang demikian itu nyata bagi yang mempercayainya seperti halnya Allah bagi orang Islam dan Yesus bagi orang Nasrani. 

2.7 Pengaruh Budaya Terhadap Lingkungan 
Budaya yang di kembangkan oleh manusia akan berimplikasi pada lingkungan tempat kebudayaan itu berkembang. Suatu kebudayaan memancarkan suatu ciri khas dari masyarakat yang tampak dari luar, artinya orang asing dapat melihat kekhasan budaya suatu daerah/kelompok. Dengan menganalisa pengaruh dan akibat budaya dan lingkungan, seseorang dapat mengetahui suatu lingkungan berbeda dengan lingkungan yang lainya dan tentu menghasilkan kebudayaan yang berbeda. 
Beberapa Variavel yang berhubungan dengan masalah kebudayaan dan lingkungan: 
1. Physical Environtment, menunjuk kepada lingkungan natural 
2. Cultural Social Environment, Meliputi aspek-aspek kebudayaan beserta proses sosialisasi 
3. Environmental Orientation and Representation, Mengacu kepada persepsi dan kepercayaan kognitif yang berbeda pada setiap masyarakat mengenai lingkungannya. 
4. Enviromental Behavior and Process, meliputi bagaimana masyarakat menggunakan lingkungan dalam hubungan social 
5. Out Carries Product, meliputi hasil tindakan manusia seperti membangun rumah, komunitas,dan sebagainya. 
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebudayaan yang berlaku dan dikembangkan dalam lingkungan tertentu berimplikasi terhadap pola tata laku, norma, nilai, dan aspek kehidupan lainnya yang akan menjadi ciri khas suatu masyarakat dengan masyarakat lainya.


By: Isna Chaerany