Kamis, 11 Juni 2015

ARTIKEL MUNAKAHAT

MASALAH RUJUK DAN IHDAD


A. Rujuk Pengertian Rujuk 
Menurut bahasa Arab, kata ruju’ berasal dari kata (رجع - يرجع - رجوعا) yang berarti kembali, dan mengembalikan. Dalam istilah hokum Islam, para fuqaha mengenalkan istilah ruju’ dan istilah raj’ah yang keduanya semakna. 
Ulama Hanafiyah memberi definisi rujuk sebagaimana dikemukakan oleh Abu Zahrah, sebagai berikut: 
 الرجعة استد امة النكاح فلى أثناء عدة الطلاق  
“Rujuk ialah melestarikan perkawinan dalam masa iddah talak (raj’i).” 

Menurut Al Syafi’i: 
 الرجعة اعادة أحكام الزواج فى أثناء العدة بعد الطلاق  
“Rujuk ialah mengembalikan status hokum perkawinan sebagai suami istri di tengah-tengah iddah setelah terjadinya talak (raj’i).” 

Dapat dirumuskan bahwa rujuk adalah mengembalikan status hokum perkawinan secara penuh setelah terjadi talak raj’i yang dilakukanoleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa iddah, dengan ucapan tertentu. 
Dari rumusan tersebut, disimpulkan bahwa dengan terjadinya talak antara suami istri meskipun berstatus talak raj’i, namun pada dasarnya talak itu mengakibatkan keharaman hubungan seksual antara keduanya, sebagaimana laki-laki lain juga diharamkan melakukan hal yang serupa itu. Oleh karena itu, bekas suami dalam masaiddah berhak merujuk bekas istrinya dan mengembalikannya sebagaimana suami istri yang sah secara penuh, namun karena timbulnya keharaman itu berdasarkan talak yang diucapkan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya itu, maka untuk menghalalkan kembali bekas istrinya menjadi istrinya lagi harus dengan pernyataan rujuk yang diucapkan oleh bekas suami yang dimaksud. 
Dengan terjadinya talak raj’i, maka kekuasaan bekas suami terhadap istri menjadi berkurang, namun masih ada pertalian hak dan kewajiban antara keduanya selama istri dalam masa iddahnya, yaitu kewajiban menyediakan tempat tinggal serta jaminan nafkah, dan sebagai imbangannya, bekas istrinya itu harus kembali dalam arti mengembalikannya kepada kedudukannya sebagai istri secara penuh. Dengan pernyataan rujuk bekas suami halal mencampuri bekas istrinya lagi, sebab dengan demikian status perkawinan mereka kembali seperti sedia kala. 
Maka dari itu, laki-laki selain bekas suami tidak berhak mengawini bekas istri itu sebelum berakhir masa iddahnya. Hak prioritas merujuk itu menjadi hilang dengan berakhirnya masa iddah yang dimaksud. Hak merujuk bekas suami terhadap bekas istrinya yang ditalak raj’i diatur berdasarkan firman Allah surat Al-Baqarah ayat 228:
 وَبُعُو لَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِى ذَالِكَ اِنْ اَرَادُوا اِصْلَاحًا 
“Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. (QS Al-Baqarah:228) 

Tidak dibenarkan bekas suami mempergunakan hak merujuk dengan tujuan yang tidak baik, seperti, menggunakan hak rujuknya untuk menyengsarakan istrinya, atau untuk mempermainkannya. Sebab, bekas suami sama saja berbuat aniaya atau zalim, sedangkan perbuatan itu diharamkan. Firman Allah surat Al-Baqarah ayat 231: 
 وَاِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَاَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ سَرِّحُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ وَلَا تُمْسِكُوْهُنَّ ضِرَارًا لِّتَعْتَدُوْا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَالِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ 

“Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujuklah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. (QS Al-Baqarah:231) 

Apabila suami menjatuhkan talaknya ketika istri sedang haid, maka suami wajib merujuk istrinya kembali, karena talak di waktu haid ini tidak sesuai dengan tuntunan atau disebut dengan talak bid’i. Ketentuan ini sesuai dengan hadits dariIbnu Umar r.a bahwa ia mentalak istrinya di waktu haid, lalu Umar r.a bertanya pada Rasulullah. Maka Rasulullah bersabda kepada Umar untuk memerintahkan kepada anaknya itu agar merujuk istrinya, dengan sabda beliau: 
 مرة فليرا جعها ثم ليمسكها حتى تطهر ثم ثحيض ثم تطهر ثم ان شاء أمسك وان شاء طلق قبل ان يمس فتلك العدة التى أمر الله ان تطلق لها النساء (متفق عليه) 

“Perintahlah ia (anakmu, hendaklah ia merujuk istrinya), lalu ia memeliharanya sehingga suci dari haid, kemudian haid, kemudian suci lagi, kemudian jika mau hendaklah ia pelihara sesudah itu, atau jika ia berkehendak boleh ia mentalaknya sebelum ia mencampurinya. Demikian itulah waktu yang diizinkan Allah bagi suami untuk mentalak istrinya.” (Muttafaq ‘Alaih) 

Dengan demikian, status hukum suami merujuk istrinya itu bergantung pada motif dan tujuannya serta sesuai atau tidaknya cara menjatuhkan talak itu dengan tuntunan sunnah sehingga dengan demikian hokum suami merujuk bekas istrinya itu boleh jadi wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. 

Hukum Rujuk 
Ibnu Rusdy membagi dua hukum rujuk yaitu, hukum rujuk pada talak raj’i dan hukum rujuk pada talak ba’in. 
Hukum rujuk pada talak raj’i
Kaum muslimin telah sependapat bahwa suami mempunyai hak untuk merujuk istri pada talak raj’i, selama istri masih berada dalam masa iddah, tanpa mempertimbangkan persetujuan istri dan fuqaha juga sependapat bahwa sesudah terjadinya pergaulan (campur) terhadap istri merupakan syarat talak raj’i. Firman Allah: 
 وَبُعُو لَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ 
“Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. (QS Al-Baqarah:228) 

Hukum rujuk pada talak ba’in 
Hukum rujuk setelah talak ba’in sama dengan nikah baru, yaitu tentang persyaratan adanya mahar, wali, dan persetujuan. Hanya saja jumhur fuqaha berpendapat bahwa untuk perkawinan ini tidak mempertimbangkan berakhirnya masa iddah. Hukum rujuk pada talak ba’in dapat diperinci menjadi dua: 
1. Talak ba’in karena talak tiga kali 
Mengenai istri yang ditalak tiga kali, para ulama mengatakan bahwa ia tidak halal lagi bagi suaminya yang pertama, kecuali sesudah digauli (oleh suami lain), firman Allah:
 ... حتى تنكح زوجا غيره ... …
Sehingga ia (istri yang dicerai tiga kali) kawin dengan suami yang lain …

2. Nikah muhalil 
Dalam kaitan ini, fuqaha berselisih pendapat mengenai nikah muhalil, yaitu jika seorang lelaki mengawini seorang perempuan dengan tujuan untuk menghalalkannya bagi suami yang pertama. Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah muhalil dibolehkan, dan niat untuk menikah itu tidak memengaruhi sahnya. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa nikah tersebut rusak dan harus difasakh, baik sesudah maupun sebelum terjadi pergaulan. Ia dan pengikutnya berhujjah pada hadits yang meriwayatkan dari Nabi saw, dari Ali bin AbiThalib, Ibnu Mas’ud r.a, Abu Hurairoh r.a, dan Uqbah bin Amir r.a:
 انه قال صلى الله عليه وسلّم : لعن الله المحلل و المحلل له  

“Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Allah melaknat perkawinan orang yang menghalalkan (al muhallil) dan orang yang dihalalka untuknya (al muhallallah).” 

B. Ihdad
Pengertian Ihdad 
Menurut Abu Yahya Zakaria al-Anshary, ihdad berasal dari kata ahadda, dan kadang bias juga disebut al-hidad yang diambil dari kata hadda. Secara etimologis ihdad berarti al-man’u (cegahan atau larangan). Sedangkan menurut Abdul Mujieb dkk, bahwa yang dimaksud dengan ihdad adalah masa berkabung bagi seorang istri yang ditinggal mati suaminya. Masa tersebut adalah 4 bulan 10 hari disertai larangan-larangannya, seperti bercelak mata, berhias diri, keluar rumah, kecuali dalam keadaan terpaksa. 
Sedangkan menurut pengertian syarak, ihdad ialah meninggalkan pemakaian pakaian yang dicelup warna yang dimaksudkanuntuk perhiasan, sekalipun pencelupan itu dilakukan sebelum kain tersebut ditenun, atau kain itu menjadi kasar/esat (setelah dicelup). 
Sayyid Abu Bakar al-Dimyathi memberikan definisi bahwa ihdad adalah menahan diri dari bersolek/berhias pada badan. Selain itu dengan redaksi berbeda, Wahabbah al-Zuhaili mendefinisikan ihdad adalah meninggalkan harum-haruman, perhiasan, celak mata, dan minyak, baik minyak yang mengharumkan maupun yang tidak. 
Mengenai ihdad (berkabung) dan permasalahannya Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa kaum muslimin telah sepakat ihdad (berkabung) wajib hukumnya atas wanita muslimah yang merdeka dalam iddah kematian suami. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa ihdad diwajibkan atas wanita muslimah dan ahli kitab, baik yang masih kecil maupun yang sudah dewasa. Dalam kaitan ini, Imam Abu Hanifah juga berpendapat bahwa tidak ada ihdad atas wanita yang masihkecil dan wanita ahli kitab. Selain itu Imam Syafi’i hanya menganggap berihdad bagi wanita yang ditalak, tetapi ia tidak mewajibkannya. 

Hal-hal yang Dilarang Bagi Orang yang Berihdad 
Para fuqaha berpendapat bahwa wanita yang sedang berihdad dilarang memakai semua perhiasan yang dapat menarik perhatian laki-laki kepadanya, seperti perhiasan intan dan celak, kecuali hal-hal yang dianggap bukan sebagai perhiasan dan dilarang pula memakai pakaian yang dicelup dengan warna, kecuali warna hitam. 
Ringkasannya, pendapat para fuqaha mengenai hal-hal yang harus dijauhi oleh wanita yang ber-ihdad adalah saling berdekatan. Pada dasarnya, adalah semua perkara yang dapat menarik perhatian kaum lelaki kepadanya. Yang mendorong para ulama mewajibkan ihdad, secara garis besar, adalah hadits shahih ini:
 ان امرأة جاءت الى رسول الله صلى الله عليه وسلّم فقال : يا رسول الله ان ابنتى توفى عنها زوجها وقدا شتكت عينيها أفتكتحلهما فقال رسول الله صلى الله عليه وسلّم : لا, مرتين او ثلاثا , كل دلك يقول لها : لا, ثم قال : انما هى أربعة أشهر وعشر , وقد كانت احداكن ترمى بالبعرة على الراس الحول . 

“Bahwa seorang wanita dating kepada Rasulullah saw, kemudian berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya, sedangkan ia mengeluh karena sakit pada kedua matanya, bolehkah ia mencelakai kedua matanya? Rasulullah menjawab: Tidak boleh (2x) atau (3x) yang pada masing-masingnya beliau menyatakan tidak boleh. Kemudian beliau berkata: Sesungguhnya iddahnya adalah 4 bulan 10 hari, dan sesungguhnya dahulu ada seorang di antara kamu yang berihdad selama satu tahun penuh.” 



by: Isna Chaerany

Tidak ada komentar:

Posting Komentar