Kamis, 11 Juni 2015

MAKALAH FIQIH

(Munakahat, Perwalian, Nafkah)


BAB I 
PENDAHULUAN 


1.1 Latar Belakang 
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai khalifah dibumi ini. Maka keberadaannya di bumi sangat dibutuhkan agar kelangsungan hidup manusia tetap lestari. Oleh karena itu, manusia dianjurkan untuk menikah bagi yang sudah mampu dari segi apapun. Selain untuk menghindari perzinaan, nikah juga merupakan sunnatullah. Dalam masalah pernikahan ini, tentunya ada ketentuan-ketentuan tersendiri. Munakahat berarti pernikahan atau perkawinan. Kata dasar pernikahan adalah nikah. Menurut kamus bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau bersatu. Pernikahan adalah suatu lembaga kehidupan yang disyariatkan dalam agama Islam. Pernikahan merupakan suatu ikatan yang menghalalkan pergaulan laki-laki dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia dan mendapatkan keturunan yang sah. Nikah adalah fitrah yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah, serta bahagia di dunia dan akhirat. 
Dalam usaha meleburkan suatu bentuk hukum dalam dunia hukum Islam Indonesia. Tentunya kita ingin mengetahui lebih dalam darimana asal konsep hukum yang diadopsi oleh Departemen Agama RI tersebut yang kemudian menjadi produk hukum yang lazim disebut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, dan diantara materi bahasannya adalah rukun dan syarat perkawinan yang akan coba kita pelajari perbandingannya dengan fikih munakahat. 
Terpenuhinya syarat dan rukun suatu perkawinan, mengakibatkan diakuinya keabsahan perkawinan tersebut baik menurut hukum agama/fiqih munakahat atau pemerintah (Kompilasi Hukum Islam). Bila salah satu syarat atau rukun tersebut tidak terpenuhi maka mengakibatkan tidak sahnya perkawinan menurut fikih munakahat atau Kompilasi Hukum Islam, menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan salah satunya. 
Dalam pandangan Islam perkawinan itu bukan hanya urusan perdata semata, bukan pula sekedar urusan keluarga dan budaya, tetapi masalah dan peristiwa agama. Oleh karena perkawinan itu dilakukan untuk memenuhi sunnah Allah dan sunnah nabi dan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah dan petujuk nabi. Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur hukum. 

1.2 Rumusan Masalah 
1. Bagaimana penjelasan tentang munakahat 
2. Apa saja penjelasan dalam perwalian 
3. Apa saja pembahasan tentang nafkah 


BAB II 
PEMBAHASAN 


A. MUNAKAHAT 
2.1 Pengertian Munakahat 
Munakahat berarti pernikahan atau perkawinan. Kata nikah memiliki persamaan dengan kata kawin. Kata nikah berasal dari bahasa Arab nikahun yang merupakan masdar dari fi’il madhi nakaha, sinonimnya tazawwaja kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Nikah menurut bahasa yaitu al jam’u dan al dhomu yang berarti kumpul. Makna nikah juga diartikan dengan aqdu al tazwij yang artinya akad nikah. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata kawin yang berarti bersetubuh. 
Dalam istilah syari’at, nikah adalah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara laki-laki dan perempuan serta menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela dan persetujuan bersama, demi terwujudnya keluarga bahagia, yang diridhoi Allah. 

2.2 Dasar Hukum Pernikahan 
Perkawinan adalah sunnatullah, hukum alam di dunia. Perkawinan dilakukan oleh manusia, hewan, bahkan tumbuh-tumbuhan, karenanya menurut para Sarjana Ilmu Alam mengatakan bahwa segala sesuatu kebanyakan terdiri dari dua pasangan. Firman Allah: 
وَمِنْ كُلِّ شَئٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ 
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” (Az Dzariyat:49) 

Sedangkan menurut Ahkamal khamsah (hukum yang lima) yaitu: 
1. Nikah wajib 
Bagi orang yang ingin menikah, mampu menikah, dan ia khawatier berbuat zina jika tidak segera menikah. 
2. Nikah sunnah 
Bagi orang yang ingin menikah, mampu menikah, dan mampu pula mengendalikan diri dari perzinaan walaupun tidak segera menikah. 
3. Nikah makruh 
Bagi orang yang ingin menikah, tapi belum mampu memberi nafkah terhadap istri dan anak-anaknya. 4. Nikah haram 
Bagi orang yang bermaksud menyakiti wanita yang akan ia nikahi. 
5. Nikah mubah 
Bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah dan dorongan nikah belum membahayakan dirinya, ia belum wajib nikah dan tidak haram bila tidak nikah. 

Dan dalam hadits Rasulullah terdapat anjuran untuk menikah, yaitu:
 يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَاَحْصَنُ لِلْفَرْجِ 

“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kamu yang telah mampu kawin, maka kawinlah, karena dengan kawin (beristri) itu akan mampu menjaga mata dan memelihara kemaluan” (HR. Jama’ah) 

2.3 Rukun dan Syarat Sah Pernikahan 
Rukun nikah: 
1. Mempelai laki-laki, 
2. Mempelai perempuan, 
3. Wali, 
4. Dua orang saksi, 
5. Shigat ijab Kabul. Syarat pernikahan adalah syarat yang berkaitan dengan rukun-rukun pernikahan, yaitu syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab kabul. 

Syarat-syarat suami: 
1. Bukan mahram dari calon istri 
2. Tidak terpaksa atas kemauan sendiri 
3. Jelas orangnya 
4. Tidak sedang ihram 

Syarat-syarat istri: 
1. Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang masa iddah 
2. Merdeka, atas kemauan sendiri 
3. Jelas orangnya 
4. Tidak sedang ihram 

Syarat-syarat wali: 
1. Laki-laki 
2. Islam 
3. Baligh dan berakal 
4. Tidak dipaksa dan tidak sedang ihram 
5. Adil 

Syarat-syarat saksi: 
1. Laki-laki 
2. Islam 
3. Baligh dan berakal 
4. Adil 
5. Tidak dipaksa dan tidak sedang ihram 
6. Dapat mendengar dan melihat 
7. Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab kabul 

Syarat ijab kabul yaitu hendaknya dilakukan dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh orang yang melakukan akad, penerima akad, dan saksi. 

2.4 Hikmah Pernikahan 
Allah SWT berfirman : 
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar-ruum,21) 
Pernikahan menjadikan proses keberlangsungan hidup manusia di dunia ini berlanjut, dari generasi ke generasi. Selain juga menjadi penyalur nafsu birahi, melalui hubungan suami istri serta menghindari godaan setan yang menjerumuskan. Pernikahan juga berfungsi untuk mengatur hubungan laki-laki dan perempuan berdasarkan pada asas saling menolong dalam wilayah kasih sayang dan penghormatan muslimah berkewajiban untuk mengerjakan tugas di dalam rumah tangganya seperti mengatur rumah, mendidik anak, dan menciptakan suasana yang menyenangkan. Supaya suami dapat mengerjakan kewajibannya dengan baik untuk kepentingan dunia dan akhirat. 
Adapun hikmah yang lain dalam pernikahannya itu yaitu: 
1. Mampu menjaga kelangsungan hidup manusia dengan jalan berkembang biak dan berketurunan. 
2. Mampu menjaga suami istri terjerumus dalam perbuatan nista dan mampu mengekang syahwat serta menahan pandangan dari sesuatu yang diharamkan. 
3. Mampu menenangkan dan menentramkan jiwa dengan cara duduk-duduk dan bencrengkramah dengan pacarannya. 
4. Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan tabiat kewanitaan yang diciptakan. 

B. PERWALIAN 
2.4 Pengertian Perwalian 
Perwalian dalam arti umum, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan wali. Dan wali mempunyai banyak arti, diantaranya: 
1. Orang yang menurut agama, diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya, sebelum anak itu dewasa. 
2. Pengusaha pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki. 
3. Orang shaleh (suci), penyebar agama. 
4. Kepala pemerintah dan lain sebagainya. 

Jadi yang dimaksud dengan wali dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu ditetapkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip. 
Jumhur ulama fiqh sependapat bahwa urutan wali sebagai berikut: 
1. Ayah seterusnya ke atas, 
2. Saudara laki-laki ke bawah, 
3. Saudara laki-laki ayah ke bawah.

2.5 Macam-macam Wali 
a. Wali Nasab 
Wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan. 
b. Wali Hakim 
Wali nikah dari hakim atau qadi. 
c. Wali Tahkim 
Wali yang diangkat oleh calon suami dan calon istri. 
d. Wali Maula 
Wali yang menikahkan budaknya. Artinya, majikannya sendiri. 

2.6 Wali Bagi Anak Kecil, Orang Gila, dan Safih 
a. Anak Kecil 
Para ulama mazhab sepakat bahwa wali anak kecil adalah ayahnya, sedangkan ibunya tidak mempunyai perwalian. 
b. Orang Gila
Hukum orang gila persis dengan anak kecil. Perwalian ayah dan kakek untu orang yang gila sejak kecil. Sedangkan orang gila saat mereka dewasa dan mengerti itu perwaliannya berada di tangan hakim. 
c. Safih 
Seseorang yang telah baligh dan mengerti lalu terkena kesafihan (idiot), maka perwaliannya di tangan hakim, tidak pada ayah dan kakek, apalagi pada orang yang menerima wasiat dari mereka berdua. 

C. NAFKAH 
2.7 Pengertian Nafkah 
Nafkah adalah semua kebutuhan yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti pakaian, makanan, tempat tinggal, dan sebagainya. Banyaknya nafkah yang diwajibkan adalah sekedar mencukupi kebutuhan serta mengingat keadaan dan kemampuan orang yang berkewajiban menurut kebiasaan masing-masing tempat. Firman Allah:
 لِيُنْفِقْ ذُوْسَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهِ 
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.” (At Talaq:7) 

2.8 Sebab-sebab yang Mewajibkan Nafkah 
1. Sebab keturunan 
Bapak atau ibu, kalau bapak tidak ada wajib memberi nafkah kepada anaknya, begitu juga kepada cucu, kalau dia tidak mempunyai bapak. 
2. Sebab pernikahan 
Suami diwajibkan memberikan nafkah kepada istrinya yang taat, baik makanan, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain menurut keadaan di tempat masing-masing dan menurut kemampuan suami. 
3. Sebab milik 
Seseorang yang memiliki binatang wajib memberi makan bintang itu, dan wajib menjaganya jangan sampai diberi beban lebih dari semstinya. 

2.9 Nafkah Anak, Nafkah Orang Tua, Nafkah Suami Atas Istri yang Beriddah 
a. Nafkah Anak 
Ayah berkewajiban memberi nafkah pada anaknya memerlukan syarat-syarat sebagai berikut: 
1. Anak-anak membutuhkan nafkah dan tidak mampu bekerja. Anak dipandang tidak mampu bekerja apabila masih kanak-kanak atau telah besar tapi tidak mendapat pekerjaan. 
2. Ayah mempunyai harta dan berkuasa memberi nafkah yang menjadi tulang punggung kehidupannya.
b. Nafkah Orang Tua Kewajiban anak memberi nafkah orang tua termasuk dalam perintah Al-Qur’an: وَاِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى اَنْ تُشْرِكَ بِى مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّ نْيَا مَعْرُوْفًا وَاتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ اَنَابَ اِلَيَّ ثُمَّ اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُ نَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ 

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Lukman:15) 
c. Nafkah Suami Atas Istri yang Beriddah 
Perempuan, dalam masa iddah atau talak raj’I atau hamil berhak mendapatkan nafkah, karena Allah berfirman: 
اَسْكِنُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُجْدِكُمْ 
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.” (At Talaq:6) 
 وَاِنْ كُنَّ اُوْلَاتِ حَمْلٍ فَاَ نْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.” (At Talaq:6) 


BAB III 
KESIMPULAN 


Pernikahan adalah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara laki-laki dan perempuan serta menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela dan persetujuan bersama, demi terwujudnya keluarga bahagia, yang diridhoi Allah. Tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah, serta bahagia di dunia dan akhirat. Hukum nikah pada dasarnya adalah mubah, artinya boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Meskipun demikian, hukum, nikah dapat berubah menjadi sunah, wajib, makruh, atau haram. 
Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari kriteria calon calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya. Pernikahan adalah sunnah karuniah yang apabila dilaksanakan akan mendapat pahala tetapi apabila tidak dilakukan tidak mendapatkan dosa tetapi dimakruhkan karna tidak mengikuti sunnah rasul. 
Pernikahan menjadikan proses keberlangsungan hidup manusia di dunia ini berlanjut, dari generasi ke generasi. Selain juga menjadi penyalur nafsu birahi, melalui hubungan suami istri serta menghindari godaan setan yang menjerumuskan. Pernikahan juga berfungsi untuk mengatur hubungan laki-laki dan perempuan berdasarkan pada asas saling menolong dalam wilayah kasih sayang dan penghormatan muslimah. 
Dalam pernikahan peran wali sangat penting karena keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu ditetapkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip. Adapun setelah pernikahan berlangsung seorang suami berkewajiban memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya sesuai kebutuhan yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti pakaian, makanan, tempat tinggal, dan sebagainya. Banyaknya nafkah yang diwajibkan adalah sekedar mencukupi kebutuhan serta mengingat keadaan dan kemampuan orang yang berkewajiban.


by: Isna Chaerany

Tidak ada komentar:

Posting Komentar