Kamis, 11 Juni 2015

KEMUHAMMADIYAHAN (Masalah yang Lima)

BAB I 
PENDAHULUAN 


1.1 Latar Belakang 
Muhammadiyah, sebagai gerakan keagamaan yang berwatak sosio-kultural, dalam dinamika kesejarahannya selalu berusaha merespon berbagai perkembangan kehidupan dengan senantiasa merujuk pada ajaran Islam (al-ruj'u ila al-Qur’an wa as-Sunnah, menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagi sumber rujukan). Di satu sisi sejarah selalu melahirkan berbagai persoalan, dan pada sisi yang lain Islam menyediakan referensi normatif atas berbagai persoalan tersebut. Orientasi pada dimensi illahiah inilah yang membedakan Muhammadiyah dari gerakan sosio-kultural lainnya, baik dalam merumuskan masalah, menjelaskannya maupun dalam menyusun kerangka operasional penyelesaiannya. Orientasi inilah yang mengharuskan Muhammadiyah memproduksi pemikiran, meninjau ulang dan merekonstruksi pemikiran keislamannnya. 
Pemikiran keislaman meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan tuntunan kehidupan keagamaan secara praktis, wacana moralitas publik dan discourse (wacana) keislaman dalam merespon dan mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia. Masalah yang selalu hadir dari kandungan sejarah tersebut mengharuskan adanya penyelesaian. Muhammadiyah berusaha menyelesaikannya melalui proses penafsiran dinamik antara normativitas ad-din (agama), berupa al-ruj'u ila al-Qur’an wa as-Sunnah (keharusan merujuk kepada al-Qurân dan as-Sunnah), historisitas (kenyataan sejarah tentang adanya) penafsiran atas ad-din, realitas kekinian dan prediksi masa depan. Mengingat proses penafsiran dinamik ini sangat dipengaruhi oleh asumsi (pandangan dasar) tentang agama dan kehidupan, di samping pendekatan dan teknik pemahaman terhadap ketiga aspek tersebut, maka Muhammadiyah perlu merumuskannya secara spesifik. Dengan demikian diharapkan ruhul ijtihad (semangat untuk menggali ajaran agama dari sumber-sumbernya) dan tajdid (upaya pemurnian dan pembaharuan pemikiran keislaman) terus tumbuh dan berkembang. 
Dari wacana yang terus bergulir, orang pun selalu mempertanyakan: “Bagaimana Muhammadiyah memahami Islam sebagai sebuah kebenaran mutlak untuk mendapatkan jawaban yang yang mendekati kebenaran Islam yang sejati? Apa rumusan kongkret pandangan Muhammadiyah tentang Islam? Dan, yang tidak kalah pentingnya, bagaimana melaksanakannya di dalam tindakan nyata? Dalam hal ini Muhammadiyah telah memiliki tiga rumusan penting, yang diasumsikan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Pertama rumusan tentang Masailul Khamsah (Masalah Lima), kedua rumusan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (yang dikenal di kalangan warga Muhammadiyah dengan singkatan MKCH), dan ketiga rumusan tentang Pedoman Kehidupan Islami Warga Muhammadiyah. Dan yang akan dibahas pada pembahasan ini adalah mengenai Masailil Khamsah (Masalah Lima). 

1.2 Rumusan Masalah 
1. Apa saja yang termasuk dalam masalah yang lima dan bagaimana penjelasannya 


BAB II 
PEMBAHASAN 


2.1 Masalah Lima 
Rumusan awal mengenai Islam dalam pandangan Muhammadiyah tertuang dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah mengenai “Masailul Khamsah” (Masalah Lima) tanpa ada rujukan nashnya (baik berupa nash al-Quran maupun as-Sunnah). Sejak tahun 1935 upaya perumusan Manhaj Tarjih Muhammadiyah telah dimulai, dengan surat edaran yang dikeluarkan oleh Hoofdbestuur (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah. Langkah pertama kali yang ditempuh adalah dengan mengkaji “Masailul Khamsah“ ( Masalah Lima ) yang merupakan sikap dasar Muhammadiyah dalam persoalan agama secara umum. Karena adanya penjajahan Jepang dan perang kemerdekaan , perumusan Masalah Lima tersebut baru bisa diselengarakan pada akhir tahun 1954 atau awal 1955 dalam Muktamar Khusus Majlis Tarjih di Yogyakarta. 
Dari rumusan “Masailul Khamsah” terkandung rumusan fundamental (pandangan dasar) tentang Islam dalam pandangan Muhammadiyah, yang tertuang dalam penjelasan mengenai: agama, dunia, ibadah, sabilillah dan qiyas. 
1. Ad Din (agama) 
الدِّيْنُ (اَىِ الدِّيْنُ الْاِسْلَامِىُّ) الَّذِيْ جَاءَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ مَا اَنْزَلَهُ اللهِ فِى الْقُرْآنِ وَمَاجَائَتْ بِهِ السُّنَّةُ الصَّحِيْحَةُ مِنَ الْاَوَامِرِ وَالنَّوَاهِىْ وَالْاِرْشَادَاتِ لِصَالِحِ الْعِبَادِ دُنْيَاهُمْ وَاُخْرَاهُمْ . 
“Agama yakni agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw ialah apa yang diturunkan Allah di dalam al-Quran dan yang terdapat dalam as-Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat. 
 الدّيْنُ هُوَمَا شَرَعَهُ اللهُ عَلَى لِسَانِ اَنْبِيَائِهِ مِنَ الْاَوَامِرِ وَالنَّوَاهِىْ وَالْاِرْشَادَاتِ لِصَالِحِ الْعِبَادِ دُنْيَاهُمْ وَاُخْرَاهُمْ  
“Agama adalah apa yang disyari'atkan Allah dengan perantaraan nabi-nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat.  
2. Ad Dunyaa (dunia)
 الْمُرَادُ بِاَمْرِ الدُّنْيَا فِى قَوْلِهِ صلعم : اَنْتُمْ اَعْلَمُ بِاَمْرِدُ نْيَاكُمْ هُوَالْاُمُوْرُ الَّتِى لَمْ يُبْعَثْ لِاَجْلِهَا الْاَنْبِيَاءُ 
Yang dimaksud "urusan dunia" dalam sabda Rasulullah s.a.w.: "kamu lebih mengerti urusan duniamu" ialah segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi (yaitu perkara-perkara/ pekerjaan-pekerjaan/urusan-urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia). 

3. Al ‘Ibadah (ibadah)
 الْعِبَادَةُ هِيَ التَّقَرُّبُ اِلَى اللهِ بِامْتَثَالِ اَوَامِرِهِ وَاجْتِنَابِ نَوَاهَيْهِ وَالْعَمَلِ بِمَا اَذِنَ بِهِ الشَّارِعُ وَهِيَ عَامَّةٌ وَخَاصَّةٌ فَا اْلعَامَّةُ كُلُّ عَمَلٍ اَذِنَ بِهِ الشَّارِعُ وَالْخَاصَّةُ مَاحَدَّدَهُ الشَّارِعُ فِيْهَا بِجُزْئِيَّاتٍ وَهَيْئَاتٍ وَكَيْفِيَّاتٍ مَخْصُوْصَةٍ 
Ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan jalan mentaati segala perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diizinkan Allah. Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus: 
a. Yang umum ialah segala amalan yang diizinkan Allah. 
b. Yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya, tingkah dan cara-caranya yang tertentu. 

4. Sabilillah
 سَبِلُ اللهِ هُوَ الطَّرِيْقُ الْمُوْصِلُ اِلَى مَا يَرْضَاهُ اللهُ مِنْ كُلِّ عَمَلٍ اَذِنَ اللهُ بِهِ لِاِعْلَاءِ كَلِمَتِهِ وَتَنْفِيْذِ اَحْكَامِهِ 
Sabilullah ialah jalan yang menyampaikan kepada keridhaan Allah, berupa segala amalan yang diizinkan oleh Allah untuk memuliakan kalimat (agama)-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya.  
5. Al Qiyaas (qiyas)
 بَعْدُ البَحْثِ حَوْلَ مَسْأَلَةِ الْقِيَاسِ فِى ثَلَاثِ جَلَسَاتٍ يَسْتَمِعُ فِيْهَا الْمُؤْتَمَرُ لِبُحُوْثِ الْمُؤْتَمِرِيْنَ فِى ثَلَاثِ دَوْرَاتٍ وَمُحَاوَرَةٍ بَيْنَ الْفَرِيْقَيْنِ فِى دَوْرَةٍ وَاحِدَةٍ  
Setelah persoalan qiyas dibicarakan dalam waktu tiga kali sidang, dengan mengadakan tiga kali pemandangan umum dan satu kali Tanya jawab antara kedua belak pihak. 
 وَبَعْدَ تَتَبِّعُ سَيْرَ الْمُنَاقَسَاتِ وَاسْتِقْصَاءِ الْاَدِلَّةِ الَّتِى سَاقِهَا الْفَرِيْقَانِ وَمَعَ الْعِلْمِ اَنَّ اَىَ قَرَارٍ يُتَّخَذُ اِنَّمَا هُوَ تَرْجِيْعٌ بَيْنَ الآرَاءِ الْمَعْرُوْضَةِ دُوْنَ اِبْطَالٍ اَىِّ رَأْيٍ مُخَالِفٍ . 
Setelah mengikuti dengan teliti akan jalannya pembicaraan dan alasan-alasan yang dikemukakan oleh kedua belah pihak dan dengan menginsyafi bahwa tiap-tiap keputusan yang diambil olehnya itu hanya sekadar mentarjihkan di antara pendapat-pendapat yang ada, tidak berati menyalahkan pendapat yang lain. 
Karena Masalah Lima tersebut, masih bersifat umum, maka Majlis Tarjih terus berusaha merumuskan Manhaj untuk dijadikan pegangan di dalam menentukan hukum. Dan pada tahun 1985-1990, yaitu tepatnya pada tahun 1986, setelah Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Solo, Majlis Tarjih baru berhasil memutuskan: 
a. Bahwa dasar muthlaq untuk berhukum dalam agama Islam adalah al-Quran dan al-Hadits. 
b. Bahwa dimana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan sangat dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tidak bersangkutan dengan ibadah mahdlah pada hal untuk alasan atasnya tiada terdapat nash sharih dan tegas) di dalam al-Quran atau as-Sunnah shahihah, maka dipergunakanlah alasan dengan jalan ijtihad dan istinbath dari pada nash-nash yang melalui persamaan 'illat, sebagaimana telah dilakukan oleh ulama-ulama salaf dan khalaf. 


BAB III 
KESIMPULAN  


Perjalan Majlis Tarjih selama 77 tahun, memang penuh dengan tantangan dan cobaan. Tugas yang diembannya untuk membimbing masyarakat Islam Indonesia, pada umumnya dan warga Persyarikatan Muhammadiyah pada khususnya dalam masalah keagamaan dan pengembangan pemikiran Islam, nampak begitu berat dan menuntut adanya kesabaran dan perjuangan, serta pencarian yang tiada kenal putus asa. Sehingga perbaikan,penyempurnaan serta pengembangan Majlis tarjih ini sangat mutlak diperlukan,guna memberikan konstribusi-konstribusi yang bermanfaat bagi umat Islam Indonesia. 
Demikian tulisan singkat tentang Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam. Yang sedikit ini, mudah-mudahan bisa membuka cakrawala, khususnya bagi kader-kader Muhammadiyah, dan bisa menjadi bekal awal untuk pengembangan pemikiran dalam persyarikatan ini. Wallahu A’lam.

1 komentar:

  1. Terima kasih atas postingannya, Alhamdulillah dapat bermanfaan untuk saya pelajari.

    BalasHapus