Kamis, 11 Juni 2015

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

Riwayat Hidup K.H. Ahmad Dahlan 
Di kampung Kauman, kota Yogyakarta, yang terletak di sekitar Keraton, terkenal penduduuknya taat beragama. Pada abad kesembilan belas di sana ada seorang alim bernama Kiai H. Abu Bakar bin Kiai H. Sulaiman yang menjabat sebagai Khatib di Masjid Besar Kesultanan Yogya. Pada tahun 1868 M atau 1285 H keluarga H. Abu Bakar dikarunia Tuhan seorang putra yang keempat dan diberi nama Muhammad Darwisy. Pengaruh dari keluarga dan lingkungan sekitarnya mengantarkan dia menjadi seorang muslim yang baik. Muhammad Darwisy ternyata kemudian menjadi seorang pemimpin agama yang terkemuka, yang membawa faham baru bagi kebanggaan umat Islam di Indonesia. Sewaktu masih kanak-kanak, M. Darwisy bergaul dengan kawan-kawan dan tetangganya, dia terhitung anak yang rajin, jujur, dan suka menolong, selain itu mempunyai kelebihan dan kepandaian tentang kerajinan tangan, membuat barang-barang permainan, sehingga disukai teman-temannya. Bekal yang telah dibawanya dari lahir dan masa kanak-kanaknya ini pun tetap membekas pula dalam jiwanya. M. Darwisy diasuh serta dididik orang tuanya baik-baik diajar mengaji Al-Qur’an di kampungnya dan di kampung lain. Sesudah agak besar, M. Darwisy disuruh ayahnya menunaikan haji dengan bantuan kakaknya yang kaya, kemudian untuk menuntut ilmu agama Islam. Sekembalinya di tanah air, M. Darwisy bertukar nama menjadi H. Ahmad Dahlan. Pada tahun 1902, beliau menunaikan haji kedua kalinya sambil memperdalam ilmunya. 
Sebagai alim ulama beliau mempunyai banyak kitab termasuk kitab-kitab yang menjadi pegangan alim ulama di pesantren-pesantren. Di antara kitab-kitab yang mengilhami beliau dalam perjuangannya adalah: 
a. Kitab Tauhid karangan Syaikh Muhammad Abduh 
b. Kitab Dairatul-Ma’arif karangan Farid Wajdi 
c. Kitab Izharul-Haq karangan Rahmatullah Al-Hindi 

Konsep Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan 
Perhatian K.H. Ahmad Dahlan terhadap dunia pendidikan tidak sedikit. Hali ini dibuktikan dengan perhatian dan kegiatan beliau baik sebelum atau sesudah Muhammadiyah berdiri. Bahkan sesudah berdirinya Muhammadiyah, perhatian dan kegiatan beliau dalam lapangan pendidikan adalah memegang peranan yang penting sekali dalam mempersiapkan kader-kader Islam yang terdidik dan terlatih. Adapun tujuan pendidikan menurut KH. Ahmad Dahlan yaitu membentuk manusia yang: 
a. Alim dalam ilmu agama 
b. Berpandangan luas, dengan memiliki pengetahuan umum 
c. Siap berjuang, mengabdi untuk Muhammadiyah dalam menyantuni nilai-nilai keagamaan pada masyarakat 
Sebelum Muhammadiyah berdiri, beliau sering mendatangi sekolah seperti Kweekschool di Jetis, sekolah Pamong Praja di Magelang dan lain-lain. Bahkan sesudah Muhammadiyah berdiri pun menyelenggarakan pengajian yang diberi nama “Fathul Asror wa Miftahus-Sa’adah” untuk membimbing pemuda-pemuda berumur ±25 tahun supaya gemar beramal kebaikan dan berani menjadi kader yang membela Muhammadiyah dengan terhindar dari keroyalan dan kenakalan. 
K.H. Ahmad Dahlan di samping sebagai ulama, juga mempunyai sifat dan bakat sebagai pendidik. Hal ini dibuktikan bahwa beliau sabar mendidik kaum wanita calon ibu rumah tangga. Beliau juga sanggup mendidik anak muda yang nakal sehingga menjadi anak yang baik dan berguna bagi masyarakat. Di dalam pembicaraan, beliau tidak suka menyakiti hati orang lain dan selalu menggunakan kata-kata yang sederhana tapi dapat dimengerti oleh yang mendengarkannya, sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan orang yang diajak bicara. Sebagai pendidik, beliau pun bersifat peramah dan optimis dalam bekerja dan berjuang dalam mencapai cita-citanya. Adapun konsep pendidikan K.H. Ahmad Dahlan meliputi: 
1. Tujuan pendidikan 
Menurut K.H. Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama,luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan untuk menciptakan individu yang salih dan mengalami ilmu agama. 
Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang di dalamnya tidak diajarkan agama sama sekali. Akibat dialisme pendidikan tersebut lahirlah dua kutub intelegensia: lulusan pesantrenyang menguasai agama tetapi tidak menguasai ilmu umum dan sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum tetapi tidak menguasai ilmu agama. Melihat kesimpangan tersebut KH. Ahamd Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi K.H. Ahmad Dahlan kedua hal tersebut (agama-umum, material-spritual dan dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadialasan mengapa K.H. Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah. 

2. Materi pendidikan 
Menurut Toto Suharto, Ahmad Dahlan memadukan antara pendidikan Agama dan pendidikan umum sedemikian rupa, dengan tetap berpegang kepada ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selain kitab-kitab klasik berbahasa Arab, kitab-kitab kontemporer berbahasa Arab juga dipelajari di lembaga Muhammadyah yang dipadukan dengan pendidikan umum. Dari tujuan pendidikan tersebut K.H. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi:
a. Pendidikan moral, akhlak yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. 
b. Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelek serta antara dunia dengan akhirat. 
c. Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.

3. Model mengajar 
Di dalam menyampaikan pelajaran agama KH. Ahma dahlan tidak menggunakan pendekatan yang tekstual tetapi konekstual. Karena pelajaranagama tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harusdiamalkan sesuai situasi dan kondisi.-Cara belajar-mengajar di pesantrenmenggunakan sistem Weton dan Sorogal, madrasah Muhammadiyahmenggunakan sistem masihal seperti sekolah Belanda.-Bahan pelajaran dipesantren mengambil kitab-kitab agama. Sedangkan di madrasah Muhammadiyahbahan pelajarannya diambil dari buku-buku umum.-Hubungan guru-murid. Dipesantren hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena para kiaimemiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasahMuhammadiyah mulai mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab. 

4. Pendidikan integralistik 
K.H Ahmad Dahlan adalah tipe man of action sehingga sudah pada tempatnya apabila mewariskan cukup banyak amal usaha bukan tulisan. Oleh sebab itu untuk menelusuri bagaimana orientasi filosofis pendidikan beliau musti lebih banyak merujuk pada bagaimana beliau membangun sistem pendidikan, hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Amir Hamzah Wirjosukarto dalam bukunya yang berjudul Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam. Amir Hamzah Wirjosukarto, melanjutkan memaparkan mengenai pribadi K.H.Ahmad Dahlan yang merupakan pencari kebenaran hakiki yang menangkap apayang tersirat dalam tafsir Al-Manar sehingga meskipun tidak punya latar belakang pendidikan Barat tapi ia membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaranIslam sendiri, menyerukan ijtihad dan menolak taqlid. 
Dia dapat dikatakan sebagai suatu “model” dari bangkitnya sebuah generasiyang merupakan “titik pusat” dari suatu pergerakan yang bangkit untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi golongan Islam yang berupa ketertinggalan dalam sistem pendidikan dan kejumudan paham agama Islam. Berbeda dengantokoh-tokoh nasional pada zamannya yang lebihmenaruh perhatian padapersoalan politik dan ekonomi, K.H. Ahmad Dahlan mengabdikan dirisepenuhnya dalam bidang pendidikan. 
Pendidikan di Indonesia pada saat itu terpecah menjadi dua, pendidikan sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, yang tak mengenal ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama, dan pendidikan di pesantren yang hanya mengajarkan yang berhubungan dengan agama saja. Kondisi internal pendidikan pesantren di satu pihak, model penyelenggaraan, krakter dan produk alumni model ala Barat di pihak lain, seperti dijelaskan di atas mendorong Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Melalui Muhammadiyah Ahmad Dahlan ingin mendirikan lembaga pendidikan yang memadukan dua karakter dari dua model lembaga pendidikan yang berkembang saat itu, mengajarkan semangat Islam dan semangat modern. Dengan demikian, umat Islam tidak hanya fasih berbicara tentang Islam, seperti alumni pesantren, tetapi juga berwawasan luas tentang perkembangan modern.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar